Wiro Sugiman
“Apa pun Akan Saya Korbankan’’
Wiro Sugiman, 40 tahun, bukan lagi laki-laki biasa. Ia kini telah menjadi seorang selebritis: wajahnya kerap muncul di layar televisi, namanya sering menghiasi media cetak, radio dan situs-situs berita. Publisitas dadakan ini adalah buah aktivitasnya di Front Pembela Kebenaran (FPK), sebuah ‘paguyuban’ yang mengorganisasi relawan berani mati pendukung Presiden Abdurrahman Wahid.
Sebenarnya, posisi Wiro di organisasi itu hanya kordinator pendaftaran. Dalam kapasitas itulah ia memberi informasi kepada wartawan yang mewawancarainya. Namun lambat laun secara tidak sengaja ia populer sebagai Koordinator FPK. Entah siapa yang memulai. ‘Kecelakaan’ ini kabarnya bermula dari kekeliruan wartawan yang salah dalam mengutip jabatan Wiro di organisasi itu.
Kesibukan baru jelas membawa pengalaman. Itu pula yang dialami lelaki jebolan kelas II Sekolah Teknologi Menengah (STM) itu. Ia harus sabar dikejar-kejar wartawan untuk wawancara. Sampai-sampai, terkadang ia tidak ingat kalimat yang diucapkannya. Ia pernah pula punya pengalaman yang menggelikan. Misalnya, ketika diwawancarai sebuah televisi beberapa kali Wiro menundukkan kepala. Kalimatnya patah-patah. Ternyata ia sedang membaca kertas contekan yang memberinya panduan jawaban.
Jawaban Wiro pun terkesan apa adanya. “Ya, saya menghormati bila Presiden berpesan demikian. Karena beliau memang berwenang. Tapi..., ya, bagaimana lagi sudah terlanjur begini,” katanya kepada seorang reporter radio swasta yang mengkonfirmasikan pesan Juru Bicara Kepresidenan, Adhie Massardi, tentang penolakan Presiden Abdurrahman terhadap gerakan pendaftaran relawan berani mati.
Kendati lurus-lurus saja dalam menjawab, bukan berarti Wiro tak banyak akalnya dalam meladeni pertanyaan reporter. Ketika ia bingung berat menjawab si wartawan dia langsung mengakhiri wawancaranya. Lalu ia bergegas masuk ke sebuah ruang. Rupanya di sana ada dua orang yang memberikan briefing kilat dengan membisikkan contoh-contoh jawaban yang harus dikemukakannya. Wiro pun tampak serius memperhatikan dan manggut-manggut. Setelah itu, ia menyingkir ke pojok ruangan dekat kamar mandi agar tidak terlihat orang banyak.
Apa yang dilakukan Wiro? Rupanya ia sedang menghafal jawaban yang dipesankan padanya. Ia sungguh-sungguh. Wajahnya serius. Bibirnya bergerak-gerak kuat, tapi suaranya lirih. Sedang jari telunjuk tangannya, ikut mengiringi, mengacung-acung seperti orator yang berpidato di hadapan publik: “Jadi, posko dan pendaftaran ini dilakukan tanpa izin, restu dan perintah dari Gus Dur. Ini murni kehendak rakyat, yang ingin menyelamatkan bangsa dan negara, yang akan diacak-acak musuh politik Gus Dur,” tuturnya sendirian.
Kalimat itu diucapkan beberapa kali. Setelah fasih betul, ia keluar menemui wartawan. Dan, meluncurlah jawaban itu, yang kemudian dicatat seksama dan direkam oleh kuli disket.
Begitulah gaya Wiro. Sosoknya memang polos. Namun, ia selalu tersenyum simpul, setengah malu-malu, bila digoda mengenai ketenaran dirinya. Kalau sore, ia rajin nongkrong di depan televisi, melihat berita mengenai posko yang dipimpinnya itu.
Sebelumnya, Wiro sama sekali tak pernah berurusan dengan wartawan. Tetapi dalam beberapa hari, ia telah belajar banyak perihal menjadi juru bicara resmi. Ada rahasia di balik kecakapan instant yang dimiliki Wiro? Awalnya, ia harus membaca semacam panduan yang memuat beberapa daftar pertanyaan, yang lazim disampaikan wartawan. Siapa yang membuat contekan tersebut? Wiro tak mau menyebutnya dan hingga kini pun tidak ada aktivis FPK yang bersedia membocorkan asal usul berbagai pertanyaan dan jawaban itu .
* * * Di tubuh Wiro mengalir darah etnis Madura. Kedua orangtuanya memang berasal dari pulau garam di seberang Jawa Timur tersebut. “Tapi, saya lahir dan besar di Surabaya,” akunya. Kini dua anaknya sudah tumbuh besar. Yang sulung tengah menempuh kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, sedang si bungsu masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sejak ramai aksi mendukung Gus Dur, Wiro telah aktif total di dalamnya. Istri dan anaknya sering ditinggal di rumah. “Mereka sudah terlatih, jadi tidak ada masalah,” ujarnya.
Ketika remaja, Wiro mengaku sangat nakal. Itu pula yang membuat sekolahnya putus di tengah jalan. Ketika usia 16 tahun, ia pernah terbawa kereta api hingga Jakarta. Beberapa hari tidak kembali. Keluarganya sempat mengumumkan ‘kehilangan’ Wiro yang tiba-tiba itu melalui Stasiun Radio Republik Indonesia. “Begitu pulang ke rumah, [saya] langsung dihajar bapak,” ujarnya mengenang.
Setelah putus sekolah Wiro lantas mengisi hari-harinya sebagai sopir angkutan kota (Angkot), bus dan colt. Pekerjaan itu telah dijalani bertahun-tahun. Kini, dengan sebuah angkot miliknya yang disewakan kepada orang lain, Wiro cukup ongkang-ongkang kaki menerima setoran. Sehari, uang masuk berkisar antara Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu. Praktis, urusan dapur rumah tangga tak membuat risau dirinya. Setiap hari mengepul, meski ditinggal malang melintang untuk aktivitas politik.
Wiro cukup berpengalaman dalam organisasi. Pergaulan dirinya lekat sekali dengan kalangan massa di tingkat akar rumput. Selain aktif di kampung, ia juga memegang posisi sebagai Ketua Paguyuban Angkot Lyn DA yang melayani jurusan Darmo Permai ke Pasar Atom di Surabaya. Jabatan yang dipegangnya sejak 1986 itu telah membuatnya bergaul secara intensif dengan orang lapisan bawah, mengorganisasi dan mengaturnya, sehingga ladang rezeki bisa dinikmati bersama. “Teman-teman banyak yang protes, karena saya tinggal lama untuk FPK ini," Wiro mengaku.
Ia juga pernah aktif dua tahun di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Cabang Surabaya. Di sektor perburuhan, ia aktif bersentuhan dengan pekerja-pekerja pabrik. Ia tahu persis pahit getirnya nasib mereka. Aktivitas ini telah membawa dirinya sebagai demonstran. Beberapa kali, Wiro terlibat aksi unjuk rasa buruh.
Wiro mengaku telah lama menjadi warga Nahdliyin. Namun, ia bukan anggota Banser (Barisan Serba Guna). Ia belum boleh memakai seragam pasukan benteng ulama Nahdlatul Ulama itu. “Karena Wiro belum pernah ikut diklatsar (pendidikan dan latihan dasar), yang wajib diikuti setiap calon anggota Banser,” ujar Imam Ghozali Aro, Wakil Ketua Ansor Jatim. Tapi, di PKB, ia menjadi anggota satgas Garda Bangsa, Kecamatan Bubutan, Surabaya. Jam terbang Wiro dalam aksi unjuk rasa membuatnya paham dengan situasi lapangan. Beberapa saksi mata mengungkapkan pada semua unjuk rasa mendukung Presiden Abdurrahman, Wiro selalu berada di depan. Pantang bagi dirinya berteriak-teriak di belakang. Termasuk, saat hiruk-pikuk demonstrasi di Jakarta, ia tak mau ketinggalan. Sampai-sampai ia menjual seperangkat radio komunikasi terbaik yang dia miliki, sekadar untuk biayai pergi demo di Jakarta. Padahal, ia sangat doyan nge-break. Dan, uang hasil jualan itu habis ketika dirinya pulang ke Surabaya.
Lalu, siapkah ia mati syahid untuk membela pemerintahan Gus Dur? “Apa pun akan saya korbankan. Apalah arti uang dan harta, nyawa pun saya siap memberikan,” cetusnya tidak main-main. “Saya percaya, kalau pun mati di medan perjuangan, akan masuk surga, karena mati syahid.” Ia mengaku begitu jengkel dengan agitasi politisi di DPR, juga kepada mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa di Jakarta yang gencar mengkampanyekan tuntutan Presiden Abdurrahman harus mundur.
Karena militansi dan loyalitas itu, membuat Wiro diperhitungkan kalangan aktivis pendukung Presiden Abdurrahman di Surabaya. Kini ia selalu ikut dalam rapat-rapat khusus membahas gerakan massa. Wiro pula yang dipercaya aktivis FPK untuk mengelola pendaftaran relawan mati syahid. Dan, tugas itu diembannya dengan senang hati meski semula ragu, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya.(MIS/Adi Sutarwijono)
Nama :
Wiro Sugiman
Lahir :
Surabaya, 40 tahun lalu.
Pendidikan :
- SD
- SMP
- STM di Surabaya
Organisasi :
- Ketua Paguyuban Angkota Lyn DA, trayek Darmo Permai-Pasar Atom
- Aktivis SPSI Cabang Surabaya
- Kordinator Front Pembela Kebenaran
Alamat Sekretariat FPK:
Jalan Kapuas No. 58 Surabaya.