Kamis, 23 Juni 2016

Roch. Basoeki Mangoenpoerojo

Profil
Roch. Basoeki Mangoenpoerojo

"Jangan Takut Menjadi Rakyat"



INI mungkin sebuah pesan penting dari seorang mayor purnawirawan. "Pertarungan politik yang sesungguhnya hanya boleh ada di MPR, saat Sidang Umum 1998 nanti. Bukan lewat gontok-gontokan dalam pemilu," kata Roch Basoeki Mangoenpoerojo, 54 tahun, kepada TEMPO Interaktif. Ia menulis segala pesan dan pengamatan politiknya itu dalam sebuah buku berjudul Perubahan Tanpa Gejolak, Menuju Sidang Umum MPR-RI yang didiskusikan di Hotel Cempaka, Jakarta, Sabtu, 5 Juli lalu.
Roch Basoeki memang sosok yang terbilang nyentrik. Dialah tokoh yang melontarkan (dan sempat menjalaninya meski tak sesuai skenario) gagasan long march Denpasar-Jakarta, 26 Maret tempo hari. Mantan mayor Angkatan Darat ini juga dikenal sebagai kolumnis masalah sosial dan politik yang cukup produktif mengirimkan tulisannya ke pelbagai media massa. Ia juga pendukung berat Megawati. Posisinya lumayan penting di tubuh partai berlambang kepala banteng: sekretaris badan litbang PDI Megawati.
Simak saja caranya bikin long march. Bersama enam orang aktifis PDI, yang tergabung dalam kelompok yang menamakan dirinya Kader Partai Demokrasi Indonesia Cinta Konstitusi (KPCK) atau "Awam" PDI, Roch bermaksud menempuh perjalanan panjang via darat dari Bali ke Jakarta. Tentu saja, perjalanan jauh yang menempuh lebih dari 1000 kilometer itu, bukan sekedar napak tilas, atau reli kendaraan bermotor. Tujuannya hanya satu: menuju gedung DPR/MPR RI di Senayan, Jakarta. Rencananya, sesampai di hadapan para wakil rakyat itu, mereka menyampaikan "Pernyataan Harapan" pada lembaga tertinggi negara MPR, seputar kemelut yang melanda PDI.
Tentu saja ide berani ini, membuat gerah para petinggi kawasan yang akan dilalui long march. Lima panglima komando daerah militer (Pangdam), yang terdiri dari Pangdam Udayana, Brawijaya, Diponegoro, Siliwangi dan Pangdam Jaya, tegas-tegas melarang long march itu. Tapi si penggagas ide, Roch Basoeki, adem-ayem saja menyambut pernyataan lima Pangdam itu. "Jangan terlalu tegang lah menyambut ide long march itu," katanya kepada harian Kompas, saat itu.
Long march akhirnya memang dilaksanakan, kendati di luar skenario awal. Yakni, bukannya lewat jalan darat sebagaimana direncanakan, tapi setengahnya ditempuh via udara. Bagaimana ini terjadi? Berikut penuturan usahawan yang pernah sukses bertransmigrasi ke Batumarta, Sumatera Selatan ini saat ditemui Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif.
Kisahnya begini. Dalam perjalan di Banyuwangi, iring-iringan mobil Roch dan kawan-kawan dicegat sekawanan orang yang mengaku dari Kodam Brawijaya. Lantas, setengah memaksa, mobil super kijang yang mengangkut peserta long march itu diganti sopirnya. Kali ini sang sopir berambut cepak. Ternyata mobil itu tak diarahkan menuju ke Jakarta, malah berbalik lagi dan disembunyikan di gudang barang di Pelabuhan Jatiwangi, Banyuwangi, Jawa Timur.
Sesampainya di gudang barang pelabuhan, Roch mengaku agak keder (bingung). Saat itu, ia menyaksikan di layar televisi, KSAD Jenderal R. Hartono ---sekarang menteri penerangan--- memberikan komentar yang keras seputar kerusuhan di Situbondo. Melihat itu, nyali para peserta long march menciut. "Perasaan saya jadi tidak enak. Bisa-bisa saya malah dianggap mendalangi kerusuhan di Sitobondo," ujarnya mengenang. Roch pun banting stir. Di gelap malam itu, mobil rombongannya --setelah diganti pelat nomor-- meluncur ke Surabaya. Sesampai di Surabaya, pagi harinya, mobil langsung diarahkan menuju bandara Juanda.
Ke bandara? Ya, rombongan langsung diangkut balik menuju Jakarta dengan pesawat terbang. Maka jadilah long march, lewat udara. Perjalanan pun lebih singkat dari rencana semula yang seminggu.
Lucunya, sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, mereka sempat celingak-celinguk, kalau-kalau ada yang "menjemput", bisa teman seperjuangan, bisa petugas. Ternyata sama sekali tak ada penjemputan, apalagi penyambutan . Mereka langsung bubar menuju rumah masing-masing. Roch dan teman-temannya beristirahat tidur dan bertemu keluarga di rumah.
Enam hari kemudian, 1 April 1997, Roch Basoeki beserta sekitar 100 orang kader dan simpatisan PDI dari berbagai daerah, mendatangi gedung DPR/MPR. Mereka diterima oleh Wakil Ketua DPR/MPR Prof. Dr. H.A Amiruddin. "Saya merasa terhormat dapat diterima di MPR, sebelumnya Pak Wahono (Ketua) sendiri yang akan menerima. Tapi sayang, beliau mendadak harus ikut rapim," katanya. Selesai bertandang ke MPR dan menyampaikan Pernyataan Harapan, kelompok "Awam" PDI, atau Kader Partai Demokrasi Indonesia Cinta Konstitusi (KPCK) membubarkan diri.
Siapa Roch Basoeki sebenarnya? Ia adalah anak pertama dari delapan bersaudara pasangan Soetinah dengan Soedarjono Mangoenpoerojo yang pernah menjadi anak buah Slamet Riyadi di Pasukan Pembela Tanah Air (PETA)--saat melakukan perjuangan melawan Kempetai Jepang di Blitar, Jawa Timur. Roch lahir pada masa pengungsian saat gerilya, di Cimahi, Jawa Barat, 16 Maret 1943.
Masa kanak-kanak Roch dihabiskan di Solo. Ketika SMP di Solo, Roch sudah sering dipanggil dengan sebutan "jenderal" oleh teman-teman sebayanya. Mungkin karena tubuhnya yang besar dan kekar, maka penggemar atletik ini dijuluki begitu. Di SMP inilah Roch berkenalan dengan gadis manis asli Solo, Maria Sri Sadarini--yang belakangan jadi insinyur peternakan dari Universitas Gajah Mada. Gadis Maria inilah yang tiga belas tahun kemudian dipersunting oleh Roch Basoeki, resmi menjadi pendamping hidupnya.
Setamat dari SMA di Padang, Roch mendaftarkan diri di ITB, jurusan Teknik. Tetapi ayahnya yang tentara lebih suka Roch muda, meneruskan jejak langkahnya menjadi serdadu. Maka, tahun 1963 ia masuk Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang, jurusan Infanteri. Momentumnya lumayan kritis: tahun 1966, bertepatan dengan hiruk pikuk nasional menjelang pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Roch menyelesaikan pendidikannya dengan pangkat letnan dua infanteri TNI AD.
Roch memang agak menutup diri kalau ditanya soal ABRI. "Nanti saya dianggap ngecap. Saya cuma kopral saja kok. Lantas nanti Anda hormat kepada saya, karena saya ABRI. Saya ingin orang hormat karena saya seperti sekarang ini, sipil," katanya mantap. Masa dinasnya di ketentaraan lebih banyak dihabiskan di Kodam Siliwangi di Bandung. Pada tahun 1975 dengan pangkat Mayor TNI, ia dipindahkan ke Markas Besar ABRI. Kepindahannya ke Jakarta, membuat ia merasa tidak punya kerjaan.
Untuk mengisi waktunya yang banyak luang, Roch menyibukan diri membaca buku yang ada di perpustakaan mess ABRI. Hasilnya? "Selama tiga bulan, semua buku yang ada di mess itu, ludes saya baca," katanya. Dari situ ia mulai tertarik pada transmigrasi. Menurut dia, program transmigrasi sangat strategis, dan berkaitan dengan program ABRI: mempersatukan bangsa. Maka, pada setiap kesempatan cuti, Roch Basoeki menyempatkan berkunjung ke daerah-daerah transmigrasi. Hampir semua daerah transmigrasi di tanah air pernah ia kunjungi. Yang paling mengesankan baginya adalah daerah Rimbo Bujang di Sumatera Selatan.
Dari mengunjungi daerah transmigrasi yang terpencil itu, Roch merasa banyak hal yang harus mendapat perhatian serius. Untuk itu, semasa dinas aktif pada tahun 1978, ia mendirikan lembaga swadaya masyarakat yang khusus menangani transmigrasi. Namanya Lembaga Kepeloporan Transmigrasi Indonesia (LKTI) dan Roch menjadi direktur. Mulailah ia aktif dalam dunia seminar dan diskusi, bukan di lapangan memanggul senjata seperti layaknya militer. Pada tahun 1980, seminarnya di Binguan, Kalimantan Timur, mendapat banyak sorotan dari masyarakat, khususnya pers.
Sejak itu, ia makin cocok masuk dunia transmigrasi. Sebaliknya, semakin tebal keinginannya keluar dari ABRI. Ia mulai melepaskan seragam militernya pada tahun 1981. Semula, oleh atasanya Brigjen Soehirno, ia akan disalurkan untuk dikaryakan di Departemen Tranmigrasi. Tapi Roch justeru memilih menjadi petani transmigran di Batu Marta, Sumatera Selatan.
Di daerah transmigran itu, Roch dengan keluarga mendapat jatah kebun karet seluas 1 hektar. Ia juga sibuk menanam singkong dan cabe. Sayang, tangan Roch agak panas. "Mungkin karena dari sononya tidak ada darah petani," katanya berkelakar. Suatu waktu, ketika ia menanam singkong, ia ditegur seorang transmigran kawannya. Ternyata Roch terbalik menanam tunas singkong. "Bisa-bisa daunnya tumbuh di bawah tanah," katanya disertai tawa lepas. Saat menguliti cabe untuk bibit, ia lupa menggunakan sarung tangan. Kontan saja, selama sepuluh hari, tangannya kepanasan.
Merasa sudah tidak dibutuhkan lagi di daerah transmigrasi, Roch kemudian kembali ke Jakarta. Di Jakarta, dengan modal yang diperolehdari daerah transmigran, ia coba-coba berjualan nasi a la warteg (warung Tegal) di daerah Cilandak, Jakarta. Dari pengusaha warteg ia mulai baranjak ke bisnis telekomunikasi. Bikin wartel. Lumayan sukses. Lalu ia membuka toko peralatan kantor dan jasa pos. Untuk bisnis pos ini, Roch bekerjasama dengan perusahaan Amerika, MBE (Mail Boxes Etc). Rezekinya masih mengalir dari bisnis karaoke dan warung makan.
Apakah suksesnya karena koneksi? Mentang-mentang ia mantan perwira ABRI? Bukankah kini banyak mantan jenderal yang sukses berbisnis? Tegas-tegas Roch menolak tudingan itu. "Saya tidak pernah melakukan hal itu. Usaha ini saya mulai dengan membuka warteg, lalu merambat ke wartel. Dari satu orang pembantu cuci piring sampai 40 karyawan sekarang," katanya, sambil menunjuk tempat di depan wartelnya yang dulu pernah menjadi tempat berjualan warteg.
Roch juga sempat menjadi ketua Ketua Umum Asosiasi Pengelola Warpostel Indonesia (APWI) pada 1991-1995. Mengapa ia cuma punya satu wartel? Dengan enteng Roch menjawab singkat, "Saya bukan kapitalis. Mulanya saya punya wartel juga dari barang rongsokan semua. Bisnis saya sekedar bisa jalan saja," katanya kalem.
Di pentas politik, Roch termasuk orang baru dalam barisan Megawati Soekarnoputri. Baru pada bulan Oktober 1994, ia resmi menjadi anggota PDI. Ia diberi jabatan sebagai Sekretaris Balitbang PDI, mendampingi pakar ekonomi Kwik Kian Gie. "Sebelumnya saya tak tahu politik. Saya hanya tahu Saptamarga, Sumpah Prajurit, Delapan TNI wajib, serta medan tempur. Karena selama di AMN saya tidak diajari politik, kami cuma diberi pembekalan kepemimpinan," katanya.
Lantas mengapa ia mau masuk ke barisan PDI Megawati, apakah ia seorang Soekarnois? "Saya masuk PDI, bukan karena saya Soekarnois. Walau pun saya mengagumi pemikiran Bung Karno, tetapi saya tidak pantas untuk disebut Soekarnois," Roch menjawab. Ia mengagumi Bung Karno, karena ia seorang inlander yang tidak takut menghadapi Belanda. "Lantas mengapa sekarang kita takut menghadapi sekelompok orang yang ingin berkuasa?" Jika ia memilih PDI, lantaran dilihatnya hanya sedikit mantan tentara yang menyokong barisan PDI Megawati. "Bukankah sudah banyak tentara di tempat lain, di Golkar dan PPP. Karena saya bukan orang Islam, ya, saya masuk PDI. Kalau saya masuk Golkar, apa saya laku?" ujar penganut Katolik ini.
Apa tidak takut ditegur Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI) lantaran ikut PDI? Ayah empat enak ini mengatakan bahwa sampai kini tak ada orang Pepabri yang datang padanya. "Dan saya tak pernah takut menjadi rakyat. Kalau saya boleh mengimbau kepada para anggota Pepabri, jangan takut menjadi rakyat," katanya, tegas. Mungkin bisa ditambah: jangan pula rakyat ditakut-takuti.


Nama:Roch. Basoeki Mangoenpoerojo.
Tempat/Tgl.Lahir:Cimahi, Jawa Barat 16 Maret 1943.
Alamat Rumah:Jl. Darmaputra 12/34, Tanah Kusir, Jakarta Selatan (021) 7251025.
Alamat Kantor:Jl. Ampera Raya No. 3 Cilandak II, Jakarta Selatan; telepon: (021)7815205-7893020 fax: (021) 7802558.
Agama:Katolik.
Ayah:Soedarjono Mangoenpoerojo.
Ibu:Soetinah.
Istri:Ir. Maria Sri Sadarini.
Anak:Yongki (lahir 30 Januari 1970), Pico (lahir 5 Maret 1972), Erick (lahir 17 Juli 1974), Lucky (22 Februari 1977).
Hobi:Membaca, Menulis dan Menyanyi.
Pendidikan:SD (Solo lulus 1955); SMP (Solo lulus 1959); Padang (lulus 1962); AMN (Magelang 1966).
Pengalaman Kerja:ABRI TNI -AD (1962-1981);Petani (1981-1986); Konsultan (1986-1994); Usahawan (1994-...); Alih profesi dari militer dengan pangkat mayor infanteri Transmigrasi Batumarta, Sumatera Selatan (1981-1990); Direktur Lembaga Kepeloporan Transmigran Indonesia; Kolumnis (1978-...).
Kegiatan Lain:Ketua Asosiasi Pengelola Warpostel Indonesia APWI (1991-1995);Ketua Koperasi Pengusaha Warpostel Indonesia (1995); LSM Ketransmigrasian (1979-1994);Wakil Ketua Paguyuban Solus Populi Indonesia (1995); Wiraswastawan rumah makan, wartel dan karaoke, dll; Sekretaris Balitbang PDI (1994); Anak pertama dari delapan bersaudara;Menulis di beberapa media Nasional Seperti Kompas, Tiras , dll.; 41 Makalah tentang kependudukan, transmigrasi, telekomunikasi, ABRI, masalah regional/desa pada khususnya, olahraga (untuk seminar dan buku)
Publikasi:* Rancunya Pola Pikir Cendekiawan dan Akibatnya Terhadap Transmigran (1985) dalam buku 10 Windu Transmigrasi (Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun)
Perubahan Tanpa Gejolak, Menuju Sidang Umum MPR-RI(1997)

Franciscus Xaverius Seda

Profil
Franciscus Xaverius Seda

Guru Ekonomi Orde Baru dari Maumere



Franciscus Xaverius Seda dilahirkan pada tanggal 4 Oktober 1926 di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ayahnya, Paulus Putu Seda, selain seorang kepala SD juga seorang kepala suku di kampungnya. Seda tertua dari sembilan bersaudara. Kala itu, ia bercita-cita menjadi seorang guru. Alasannya? "Di daerah saya waktu itu ada dua pekerjaan yang sangat dihargai oleh masyarakat yaitu guru atau pastor."
Seda menyelesaikan sekolah dasarnya pada tahun 1940. Di sanalah terpatri kenangan yang paling mengesankan tentang sang ayah, yang mengajarkan dua hal penting yang harus dilakukan dalam hidupnya. Yang pertama, Seda diajar untuk memperhatikan kepentingan masyarakat. "Mungkin karena saya anak kepala suku, maka saya diajar cara mengabdikan diri pada masyarakat," kisahnya. Yang kedua, ajaran bahwa manusia akan semakin bermartabat jika ia berwawasan luas. "Jadi ayah saya rela menjual semua miliknya untuk sekolah anaknya," tambahnya. "Saya bersyukur mempunyai ayah yang berpikiran maju seperti dia." Menurut ayahnya, warisan terbaik yang dapat diberikan kepada anak bukanlah harta, tetapi kepandaian.
Tak heran bila kemudian dalam usianya yang muda, Seda berani merantau ke Jawa untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Pada tahun 194, saat Jepang masuk ke Indonesia kehidupan menjadi semakin sulit. Seda terpaksa berhenti sekolah, sejak itulah ia harus bekerja, entah sebagai tukang rumput, pemerah susu sapi di sebuah peternakan, dan loper susu, hingga sekali waktu dipercaya sebagai penagih rekening. Dia juga menjadi penarik gerobak yang membantu mengangkut barang-barang keluarga Belanda yang terpaksa pindah dari kawasan Kotabaru, Yogya, karena Jepang mengambil alih Indonesia. "Saya saat itu mendapat satu ringgit per hari dari hasil menarik gerobak," katanya.
Dalam situasi seperti itu, Seda tetap menyempatkan diri belajar pada malam hari. Kerja kerasnya tak sia-sia, tahun 1946 ia menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya. Dia pernah duduk di bangku MULO di Muntilan, juga SMP BOPKRI di Yogya. Selanjutnya, ia melanjutkan sekolahnya ke AMKRI Yogya. Pada tahun 1949, ia pindah ke HBS Surabaya dan tamat setahun kemudian. Selama sekolah, Seda paling menyukai mata pelajaran bahasa, budaya, atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Hal ini sesuai dengan minatnya yang besar di bidang politik, selepas perjuangan fisik di tahun 1945-an.
Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, seperti pemuda lainnya, Seda juga aktif berjuang. Ia tercatat sebagai anggota laskar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan batalion Paraja atau Laskar Rakyat GRISK dari tahun 1945-1950. Tahun 1946, Seda pernah dikirim ke daerah Kebon Jeruk, Bekasi, untuk bertempur melawan Belanda. "Bukannya merasa takut, jika dikirim ke medan perang. Tetapi saat itu para pemuda merasa bangga dan senang, padahal kita tahu bahwa kemungkinan untuk mati juga besar," tambahnya.
Setelah masa perjuangan fisik mulai surut, Seda ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah hukum di Jakarta (cikal bakal Fakultas Hukum UI). Tetapi tawaran yang ada adalah sekolah ekonomi ke Belanda. "Perang mengubah hidup dan cita-cita saya. Jika semula saya ingin jadi guru, akhirnya saya justru sekolah ekonomi." Alasannya, karena saya punya ijazah bon A dan B untuk tata buku." Jadi saya berangkat ke Belanda tahun 1951 untuk sekolah, bukanlah karena keinginan saya, tetapi di bidang itulah saya dibutuhkan negara saat itu," katanya.
Menurut Frans Seda, di samping masa kecilnya di Flores, salah satu masa terpenting dalam hidupnya adalah ketika ia bersekolah di Belanda. "Bayangkan saja, saya berada di negara yang telah sekian lama menjajah Indonesia. Ibarat berada di dalam rumah musuh," katanya. Bagaimana saya harus bertahan dan menunjukkan bahwa apa yang kita lakukan di Indonesia adalah benar yaitu merebut kemerdekaan dari tangan Belanda.
"Orang Belanda paling benci dengan Soekarno. Menurut mereka Soekarno lah sumber banyak masalah," cerita Seda tentang tanggapan orang Belanda terhadap Bung Karno. Tetapi ada satu hal yang saya kagumi dari sifat orang Belanda, walaupun mereka membenci Soekarno, tetapi jika saya bisa membuktikan bahwa apa yang dilakukan Soekarno benar. Mereka bisa menerima argumentasi saya, jadi mereka juga cukup fair. Terus terang, saat saya sekolah di Belanda banyak hal saya dapatkan selain ilmu, yang terpenting adalah bahwa rasa nasionalisme saya benar-benar diasah dan diuji, sehingga saya merasa bangga menjadi orang Indonesia. "Soekarno lah yang memberikan rasa harga diri pada saya, yang membuat saya mencintai tanah air, dan perasaan itu tidak sekuat ketika saya masih tinggal di Indonesia."
Saat sekolah di Belanda, Seda bersama beberapa kawannya juga membentuk Ikatan Mahasiswa Katholik Indonesia (IMKI) dan juga anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda. Lulus dari Katholieke Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda pada tahun 1956, Seda langsung pulang ke Indonesia. Di Jakarta, pertama kali ia bekerja pada Biro Karpi, milik pengusaha terkenal saat itu, Ir. Laoh. Karier politik Seda kemudian tumbuh sama suburnya dengan jiwa wiraswastanya.
Seda merintis karier politiknya lewat Partai Katholik. Sepulang dari Belanda ia diminta untuk mendampingi I.J. Kasimo sebagai wakil ketua partai itu. Lantas pada tahun 1961, ia menggantikan Kasimo sebagai ketua umum. Dari sini karer politiknya terus meningkat. Dari tahun 1960 sampai tahun 1964 ia menjadi anggota MPRS dan DPR-GR. Pada tahun 1963, Seda diminta Bung Karno untuk menjabat menteri perdagangan. Tetapi Seda menolaknya karena ketua PK yang saat itu menjadi partai oposisi terhadap Bung Karno, alasan lainnya karena ia menganggap usianya saat itu masih terlalu muda.
Tapi rupanya, pada tahun 1964 Seda tak bisa lagi menolak ketika dia diangkat menjadi Menteri Perkebunan oleh Bung Karno. Lantas ia juga pernah menjabat sebagaiMenteri Pertanian (1966), lalu Menteri Keuangan (1966-1968) dan Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973). Pensiun dari jabatan menteri, Seda lantas dipercaya menjadi Dubes RI di Brussel, untuk Belgia dan Luksemburg (1968-1973), juga merangkap Kepala Perwakilan RI untuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dari tahun 1973-1976. Setelah kembali ke Indonesia, ia dipercaya untuk menjadi anggota DPA dari tahun 1976-1978.
Di bidang pendidikan, Frans Seda juga turut mendirikan Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia pernah menjabat Ketua Umum Yayasan Atma Jaya (1961), sekaligus dekan Fakultas Ekonomi di sana (1961-1964). Namanya sebagai usahawan juga cukup dikenal, antara lain karena dia pernah menjabat Presiden Komisaris PT Narisa -- pabrik pakaian jadi -- juga anggota Komisaris PT Bayer Indonesia, dan anggota dewan komisaris di PT Gramedia. Lantas pernah juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Perdagangan Tekstil Indonesia. Kegiatan sosialnya juga menonjol. Ia pernah menjadi anggota Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Iustitia Et Pax) di Roma (1984-1989), serta anggota Dewan Pertimbangan PMI Pusat (1986-sekarang)
Seperti orang Flores pada umumnya, Seda dikenal terbuka dan suka humor. Ketika ditanya apa resepnya tetap sehat dan bahagia di usia yang lebih dari 70 tahun, Seda berkata ,"Hidup itu artinya mengabdi pada Tuhan dan sesama." Dalam melakoni hidup yang sering tak terduga ini, menurutnya orang perlu punya sikap nothing to lose. "Cobalah berbuat baik saja, jangan terlalu takut memikirkan akibatnya," katanya.
Apalagi melihat kondisi saat ini, dimana orang takut menyatakan kebenaran. Satu-satunya hal yang masih ingin dilakukannya sekarang adalah bagaimana agar generasi muda dapat mempunyai kesempatan yang lebih bebas untuk belajar, termasuk berpolitik, bebas berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Katanya,"Hanya dengan kebebasan itulah demokrasi dapat tumbuh lebih baik, jika tidak generasi muda kita ibarat katak dalam tempurung, wawasannya sempit." Perlu diingat juga bahwa suka atau tidak. Di tangan generasi mudalah masa depan Indonesia nanti. Menurut Seda, kondisi seperti di awal pemerintahan Orde Baru cukup demokratis, seharusnya kondisi saat ini mengacu kesana.
Frans Seda mengaku bahwa perkawinannya dengan Johanna Maria Pattinaya termasuk dalam "Paket Kilat". Apa maksudnya? "Tidak seperti anak jaman sekarang yang sering gonta-ganti pacar, saya dulu cuma butuh waktu tiga bulan dari sejak kenal hingga menikah," katanya. Ia mengaku tertarik pada istrinya saat menonton Johanna bermain dalam tonil, sejenis drama. Bekas guru bahasa di Santa Ursula yang dipinangnya di atas becak itu, kini telah memberinya dua orang anak. "Mulai dari meminang hingga perkawinan, saya urus sendiri. Tepat sehari setelah ulang tahun Johanna, 12 Mei 1961, kami menikah."
Apa yang membuat Seda yakin hanya dalam waktu tiga bulan bahwa Johanna bakal menjadi istri yang setia? Ketika ditanyakan, sambil tertawa Seda menjawab,"Jika seorang wanita suka mengajar dan menyukai anak-anak, biasanya ia adalah wanita yang baik. Apalagi ia juga tinggal di asrama bersama suster, garansilah."
Pada usia 71 tahun, Seda masih secara rutin melakukan jogging atau jalan kaki selama satu jam sehari.

Yayuk Basuki

Profil Yayuk Basuki


YAYUK Basuki tak ikut Sea Games mendatang di Jakarta. Publik tenis Jakarta pun bakal kehilangan kesempatan menyaksikan “superstar” tenis putri Indonesia yang belakangan ini namanya kembali meroket karena menjuarai dua kejuaraan ganda di manca negara.
Urungnya Yayuk mengikuti Sea Games ini tampaknya ada kaitannya dengan ambisinya untuk menapaki tangga 20 besar dunia – upaya yang berat-- mengingat ketatnya persaingan tenis wanita dunia sekarang ini. Yayuk sekarang ini menduduki peringkat 21 – peringkat itu cepat sekali berubah dengan banyaknya turnamen di dunia.
Toh tekad Yayuk Basuki sudah bulat: inilah tahun terakhir untuk menembus peringkat 20 dunia itu atau mundur sama sekali dari dunia tenis. Tekad yang sebenarnya sudah melekat sejak ia mulai mengayun raket di bawah bimbingan kedua orang tuanya, Budi Basuki dan Sutini. Sejak usia lima tahun sang ayah yang purnawirawan polisi telah memperkenalkan Yayuk pada tenis. Umur tigabelas tahun Yayuk mulai bernaung pada sebuah klub tenis di Ragunan, Jakarta, sampai tahun 1989. Yayuk ditangani beberapa pelatih secara bergantian, tapi yang paling besar jasanya bagi Yayuk adalah nama Mien Gondowidjojo yang dianggapnya bukan sekadar pelatih tapi sudah seperti orang tuanya sendiri. Tahun berikutnya Yayuk masuk klub Pelita.
Di klub milik Aburizal Bakrie ini orang menyaksikan Yayuk, gadis Yogyakarta kelahiran 30 November 1970 itu, merangkak sukses. Dia mulai melanglang buana. Walaupun begitu, jalan yang ditempuh Yayuk tidak semulus jalan tol. Karena sering absen di arena yang membawa “bendera nasional” maka kerapkali Yayuk “ribut” dengan PB Pelti. Dia kerap dituduh mementingkan diri sendiri di atas kepentingan nasional dan tuduhan semacamnya itu.
Kontan saja Budi Basuki mengeluarkan reaksi ketika itu. “Pelti tak perlu ribut kalau memang Pelti lebih mengutamakan kepentingan bangsa," kata Budi tegas. Komentar ini memang tak berlebihan, tiga belas tahun sudah Yayuk loyal membawa nama negara.
Belum lama ini, akhirnya Yayuk Basuki harus dicoret dari tim Fed Cup Indonesia. Sebabnya, Yayuk dan Suharyadi – suami dan pelatih Yayuk sekarang – dianggap lancang menulis surat ke badan dunia tenis wanita untuk memilih lapangan tempat tim Indonesia bertanding. Yayuk dan Suharyadi akhirnya “keluar” dari tim Indonesia setelah mundurnya Ketua Badan Tim Nasional, Wimar Witoelar, yang dikenal dekat dengan pasangan ini.
Setelah kejadian itu, Yayuk rupanya lebih memilih untuk melanglang buana dan menggapai target menembus 20 besar dunia. Sampai di mana upaya itu? Ketika dihubungi lewat telepon internasional, pekan lalu, Yayuk yang tengah berada di Amerika Serikat bicara panjang lebar. Dia menjelaskan bahwa dia masih perlu 400 poin lagi dari 1130 yang sudah dimilikinya – setelah sukses masuk perempat final Wimbledon tahun ini. "Orang mudah saja bilang tinggal selangkah, padahal yang selangkah itu masih menuntut ratusan poin," ujar petenis kelahiran Yogya itu, dengan nada tetap optimis.
Dia berharap, perjuangannya ini dimengerti. Dan, jika untuk jalan berat itu dia harus merelakan tak mengikuti Sea Games atau PON, dia berharap publik tenis nasional bisa memahaminya. “Lagipula sudah waktunya memperhatikan yang muda-muda, agar tim Indonesia tidak terfokus pada satu pemain saja,” katanya.
Toh Yayuk paham benar bahwa polemik tak kan banyak gunanya. Karena dunia tenis internasional menuntut banyak. Termasuk pengelolaan profesional. Maka, seperti halnya pemain pro yang sudah mapan, Yayuk kini mendirikan YBM (Yayuk Basuki Manajemen), organisasi yang akan mengelola semua kebutuhan Yayuk dalam bertanding. YBM ini hasil kerjasama Wimar Witoelar dengan Yayuk sendiri. YBM yang sekarang ini dikelola seorang manajer Yayuk, Robert Manurung, berurusan dengan kegiatan promosi, keuangan dan program latihan si ratu tenis Indonesia itu. Saat ini YBM telah mempunyai homepage Yayuk Basuki di internet (http://www.perspektif.net/yayuk) – homepage pertama olahragawati Indonesia (Di cabang binaraga, Ade Rai juga mempunyai situs tersendiri). Yayuk berharap sistem ini bisa dicontoh oleh atlet-atlet Indonesia lain jika memang ingin terjun ke dunia tenis profesional.
Untuk mengatur seorang maestro memang perlu sistem. Karena, seperti para juara lainnya, manajer Yayuk mengakui bahwa Yayuk memiliki pribadi yang keras, dan terkadang sulit diatur. Tapi faktor keras kepala itu juga yang menjadi kekuatan Yayuk sekarang ini. Dia bukan lagi gadis lugu yang acapkali “kangen” pulang ke Yogykarta. Bahasa Inggrisnya berkembang bagus, tak kelihatan lagi anak Indonesia ini canggung ketika diwawancara wartawan asing.
Ketika Yayuk melangkah masuk delapan besar Wimbledon, dia mencatatkan diri sebagai wanita Indonesia pertama yang masuk “Eight Club”, lembaga yang menampung para alumni delapan besar turnamen akbar itu. Dengan menjadi anggota “Eight Club” maka Yayuk bisa menikmati fasilitas VIP termasuk hotel kelas satu di mana saja, sama seperti yang dinikmati Martina Hingis, Steffi Graf, Monica Seles, atau si jelita Gabriela Sabatini. Di Asia, selain Yayuk, yang masuk kelompok ini hanyalah Kimiko Date dari Jepang.
Semua ini, kata Yayuk, tak lepas dari jasa sang suami, Suharyadi. Suami dan sekaligus pelatih Yayuk ini pernah menjadi petenis nomor satu Indonesia. "Sebenarnya Mas Suharyadi kalau main masih bagus lho, tapi memang semuanya dia korbankan demi kemajuan saya," komentar Yayuk tentang suaminya.
Pasangan ini memang sudah hidup sebagai petenis profesional sejak Yayuk terjun ke dunia internasional. Tak pernah ada istirahat panjang untuk Yayuk. Di sisa tahun 1997 ini, sudah sederet turnamen menunggunya. Tak hanya di nomor tunggal yang harus disiapkan Yayuk, tapi juga ganda dan sesekali ganda campuran. "Walau istirahat turnamen, tapi sesekali bersama suami saya kembali ke lapangan, karena setelah kami analisis ada beberapa poin yang perlu saya perbaiki dari hasil pertandingan kemarin, ," katanya.
Sang manajer mencatat sekurangnya ada tujuh turnamen dalam waktu dekat, mulai akhir September ini. Yaitu di Tokyo, Leipzig, Dusseldorf, Zurich, Moskow, kembali ke Chicago, dan berakhir di Belarusia. Di sela-sela itu, Yayuk berencana bermain di Indonesia, sekitar bulan November 1997.
Menghindari Sea Games? "Saya nggak mau buang-buang waktu untuk pulang pergi, berhubung jadwal pertandingannya sangat padat. Kalau saya pulang , tiga hari di Indonesia saya harus berangkat lagi. Jadi terlalu lelah. Yang kedua dari segi dana, kita berusaha menggunakan dana seefektif mungkin," ujarnya. Di lain pihak Yayuk juga berharap, pemerintah dan Pelti memahaminya.
Yayuk mengaku sudah mampu independen, bisa kemana-mana sendiri dengan tetap membawa nama Indonesia. "Pemerintah tidak usah mengurusi saya, Pelti tidak usah meributkan saya." Karena, kadangkala sikap Pelti membingungkannya. Sekali waktu, Yayuk pernah mendengar seorang pengurus Pelti berkata kepada seorang rekan petenis muda,”Kamu tak usah tergantung Yayuk.” Dia merasa Pelti ingin menjauhkannya dari petenis-petenis muda. “Padahal, saya hanya ingin memberikan tips, pengalaman saya pada yang muda,” kata Yayuk yang berharap kelak punya hanya satu anak ini.
Bagaimana soal hadiah jutaan dolar yang dikumpulkannya? Disimpan dalam bentuk dolar AS? Penggemar film eksyen dan drama – dia menonton film Pretty Woman sampai enam kali – tertawa. "Sebenarnya aset saya masih tersimpan dalam bentuk rupiah, makanya agak terguncang juga nih. Tapi kalau saya cemas, bagaimana dengan orang-orang yang ada di bawah kita. Ya, kita pahami sebagai perputaran hidup saja," jelas petenis yang di perempat final Wimbledon saja sudah mengantongi sekitar Rp 150 juta ini.
Dan dengan semua kejayaan ini, Yayuk kabarnya tak ragu membagikan sedikit perolehannya untuk kegiatan amal. Di rumahnya, di kawasan Jakarta Selatan, Yayuk konon pernah membantu dana pengaspalan jalan. Juga membantu orang tua saya. Itu kebanggaan tersendiri bagi saya," lanjut gadis Yogyakarta yang tetap “Jawa” walau lebih banyak berada di luar negeri ini. BIODATA Nama: Sri Rahayu Basuki (Yayuk Basuki) Tempat/tanggal lahir: Demangan Kidul, Yokyakarta, 30 November 1970. Agama: Islam Alamat: Komplek Bumi karang Indah, Lebak bulus Jak-Sel. Orang tua: Ayah: Budi Basuki Ibu: Sutini Saudara: Sri Budiarti Sri Sudarmi Singgih Basuki Sigit Basuki Pendidikan: SD Yogyakarta 1983 SMP ragunan-jakarta 1986 SMA Ragunan- Jakarta 1989 Prestasi besar: 1987: Perempat final Wimbeldon junior. 1991: Babak ketiga Wimbeldon Juara Patayya Terbuka 1992: Babak keempat Wimbeldon Juara Malaysia Terbuka 1993: Babak keempat Juara Pattaya Terbuka Juara Indonesia Terbuka 1994: Sampai babak keempat Juara Nokia Juara Indonesia Terbuka 1995: Atlet terbaik versi SIWO PWI jaya Semi final Indonesia Terbuka Babak ketiga Australia Terbuka Babak ketiga Toray Pan Pasifik Babak kedua Indian Wells Babak ketiga Lipton Babak kedua Piala Federasi 1996: Babak ketiga Tasmania Terbuka Babak ketiga Australia terbuka Babak ketiga Perancis terbuka Menang atas Iva Majoli dalam Kanada Terbuka 1997: Babak kedua Australia Terbuka Perempat final Perancis Terbuka Peringkat 21 Peringkat 22 Delapan besar Wimbledon dan beberapa prestasi ganda lain. AS

Slamet Iman Santoso

Profil
Prof. Dr. Slamet Iman Santoso

Saya Ini Orang Jaman Batu dan Akan Menjadi Fosil



Pepatah bilang: ada ubi ada talas. Artinya, ada budi ada balas. Itulah yang terjadi ketika Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, merayakan ulang tahun yang ke-90 tahun pada tanggal 7 September kemarin. Seperti ingin membalas kebaikan sang guru yang telah mengajar mereka, para tokoh alumni Universitas Indonesia ini, yang merupakan bekas murid Slamet memberikan kejutan buat sang guru. Sebuah perayaan yang berlangsung di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, diisi dengan pembacaan kesan-kesan bekas muridnya.
Memang tidak sedikit mantan muridnya sukses dan menduduki kursi menteri seperti Fuad Hassan, Sujudi, dan Wardiman Djojonegoro. Bahkan Mahar Mardjono (mantan rektor UI), Conny Semiawan (mantan rektor IKIP Jakarta), Saparinah Sadli (Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia) begitu hormat dan mengagumi figur gurunya ini. Dan masih banyak lagi. Di mata para muridnya, Slamet memang dikenal sangat akrab dan suka menularkan pengalamannya kepada mereka.
Tak berlebihan bila Mahar Mardjono menganggap Slamet sebagai tokoh yang paling dikagumi dan diteladani. Konon, Mahar mengaku tanpa sosok guru seperti Slamet, sulit baginya meraih keberhasilan karir yang dicapainya selama ini. " Saya beruntung sewaktu menjadi rektor, Prof. Slamet selalu memberi inspirasi kepada saya, sehingga UI menjadi universitas yang berwibawa dan disegani, " kata Mahar Mardjono mengenai Prof. Slamet.
Lain lagi dengan Saparinah Sadli. Di mata Saparinah, Prof. Slamet adalah pribadi yang unik. Seingatnya sejak pertama menjadi muridnya tahun 1952, Prof. Slamet selalu mengenakan pakaian putih-putih. "Saya menilai beliau adalah sosok cendekiawan yang pantas diteladani. Beliau seorang guru yang jernih penalarannya, " puji wanita yang kini aktif di Komnas HAM. Slamet sendiri ketika ditanyakan pendapatnya mengenai penilaian murid-muridnya, sambil terkekeh malah berucap, " Biar saja mereka memberikan pendapat. Toh memang beginilah keadaan saya."
Sebagai pendidik (tahun 1978, IKIP Jakarta pernah memberikan penghargaan sebagai Tokoh Pendidikan Nasional), Slamet dikenal jujur, jernih dan konsisten. Prinsip hidupnya tak pernah berubah sampai kini. Salah satu obsesi di bidang pendidikan yang masih disimpannya adalah pembuatan standarisasi minimum di tiap jenjang pendidikan. Konon standar ini pernah diusulkan Slamet kepada pemerintah, tahun 1979-1981, melalui Komite Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN).
Kendati sempat dibahas dalam beberapa seminar, tapi tidak diketahui dengan jelas apakah ditindaklanjuti oleh pemerintah atau tidak. " Saya sampai saat ini tidak pernah diberi tahu kelanjutan usulan saya. Yang jelas, salah satu akibat tidak diberlakukan standarisasi itu, keadaan dunia pendidikan yang semakin amburadul tetap berlangsung sampai sekarang," tutur mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan (1937-1938) ini.
Slamet menguraikan bahwa sistem yang diusulkannya itu bisa memuat berbagai analisis berkaitan dengan pelaksanaan atau proses pendidikan Indonesia sampai tuntas. Hal itu mencakup keseluruhan soal personalia, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, kurikulum, anggaran pendidikan. Semua aspek tersebut harus disesuaikan dengan jenis jenjang pendidikannya. "Dengan adanya standar minimum akan mengatur dengan jelas di SD, SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi. Kriterianya yang dipakai jelas dan fleksibel, sehingga memungkinkan untuk usul, kritik dan koreksi," jelas mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang juga pernah duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1968-1973.
Kendati usulannya tidak mendapat perhatian serius karena menyita dana yang luar biasa besarnya, Slamet tidak kecil hati. Ia tetap konsekuen menekuni bidang pendidikan. Sampai tahun 1980-an, Slamet masih terlibat aktif mempublikasikan beberapa buku yang ditulisnya sendiri. Ia juga rajin menulis kolom di beberapa media massa. Salah satu bukunya yang banyak diminati orang adalah Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh CV Haji Masagung, Jakarta, pada tahun 1987.
Jasa lainnya di dunia pendidikan yang hingga kini masih dipakai oleh pemerintah adalah program penerimaan mahasiswa masuk Perguruan Tinggi Negeri. Program pembentukan UMPTN dibentuk ketika Slamet menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) pada tahun 1979-1980. Ketika itu terjadi booming besar-besaran lulusan SMA. Sebanyak 4000 ribu orang yang ingin masuk UI. Padahal kapasitasnya ketika itu baru 800-900 orang. Melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu paket untuk menjaring calon mahasiswa tersebut. Maka sejak 1979 sampai sekarang bergulirlah nama-nama Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan sekarang dikenal dengan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Selain sebagai pendidik ulet, Slamet juga dikenal suka usil. Tak jarang Slamet selalu mengomentari mantan muridnya ketika menjabat sebagai menteri. Misalnya waktu almarhum Mashuri menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dinilai Slamet sebagai menteri yang pusing kepala. Pasalnya, menurut Slamet Mashuri harus menghadapi perbagai problema kependidikan di Indonesia. Beberapa menteri lain ditundingnya keras kepala. Ada juga menteri yang dianggapnya besar kepala, serta ada menteri yang (masih di Pdan K) yang ia nilai berkepala besar.
Kritik lain yang dilontarakannya ketika murid kesayangannya Fuad Hassan menjabat sebagai menteri yang sama. Menurut ayah tujuh orang anak ini, "Kalau Fuad Hassan, meski dia pernah menjabat sebagai menteri P dan K yang tugasnya berat, tapi dia kok masih saja bisa tertawa. Jangan-jangan dia (Fuad Hassan, red) tidak punya kepala," sentilnya kalem di sela-sela hari ulang tahunnya kemarin dan mengundang tawa para tamu yang hadir.
Slamet dilahirkan dalam keadaan terbungkus, dan membuat semua penduduk desa meributkannya. Maklum, ketika itu bayi bungkus memang sangat jarang terjadi. Kontan saja kelahiran ini disambut dengan seruan, "Mana bayinya, mana bayinya? " tanya penduduk desa yang mulai merasa was-was. Untunglah nyonya Tambi, tetangganya, isteri seorang petani Indo, membantu membukakan bungkus ari-ari yang menutupinya, sehingga bayi itupun lahir dengan selamat. Nama inilah yang kemudian diberikan kepada jabang bayi yang baru lahir itu.
Sejak kecil di bawah pengasuhan ayahnya yang Asisten Wedana Banjaran, Slamet melewati masa bocahnya dengan keramahan, saling tolong-menolong dan gotong-royong ciri khas suasana desa. Satu pengalaman yang tidak dilupakannya adalah ketika di suatu saat dia dan anak lain sedang sibuk mencari ucen-ucen, buah tanaman liar yang sangat manis dan biru warnanya. Tiba-tiba Slamet terpeleset, hampir masuk selokan irigasi yang letaknya kira-kira lima meter ke bawah. Untunglah anjing Pak Lurah melompat antara Slamet dan tebing selokan tadi, sehingga dirinya tertolong. "Ketika kawan-kawan cerita peristiwa itu ke Bapak-Ibu, sayapun diberi tugas untuk memberi makan pada si Macan (nama anjing tadi, red) yang sudah menolong saya," kenang kakek yang kini memiliki tiga belas orang cucu dan lima orang buyut.
Sebagai orang yang melewati masa pendidikannya di jaman kolonial Belanda, Slamet memang terkesan sangat mengagungkan masa kolonial itu. Tetapi Slamet menyadari kondisi (terutama pendidikan, red) dulu dengan sekarang berbeda. Bila zamannya bersekolah dulu Slamet merasakan betapa guru sangat begitu memperhatikan dan bersatu dengan orang tua murid. Kenyataan begini sudah jarang terjadi di masa sekarang. "Para guru dan orang tua saling mengandalkan diri dan kurang rasa bersatu, " ucap Slamet yang pernah mendapat penghargaan Wahidin Sodiro Hoesodo dalam bidang Pengalaman Profesi Kedokteran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1989.
Menurut Slamet, bila saat ini kerap terjadi masalah tawuran atau perkelahian pelajar, dan soal kesemrawutan di dunia pendidikan, itu karena kurangnya koordinasi antara orang tua dan guru dalam mendidik para muridnya. Slamet juga melihat faktor komunikasi terutama bahasa yang dipakai dalam proses belajar sudah sangat lemah. "Salah satu faktanya adalah soal akronim yang diterapkan oleh pemerintah dan sering ditiru. Orang lebih senang mengatakan menkes, menhut, meperindag, dan sebagainya. Karena itu sistem bahasa kita jadi kacau," tutur ahli neurologi yang berkat usahanya ikut mendirikan Universitas Andalas dan Sriwijaya-- masing-masing di Palembang dan Padang, Universitas Airlangga di Surabaya, dan Universitas Hasanuddin di Ujungpandang.
Namun keprihatinan Slamet disadari harus terjadi karena masuknya Jepang pada masa kemerdekaan."Di sinilah terasa sekali suasana pendidikan zaman Belanda yang terkesan akrab (hubungan orang tua-murid-guru, red) hilang lenyap, diganti dengan jaman pendidikan Jepang yang mulai awut-awutan," jelas Slamet. Repotnya lagi, kondisi ini terus berlangsung sampai sekarang. Buktinya? "Banyak murid yang selalu tergantung dengan guru. Jaman kami tidak, sekarang mau ujian dikasih tahu waktu dan bahan-bahan apa saja yang bakal ke luar," tambahnya lagi. Tetapi Slamet maklum dia tidak berbuat banyak dengan kondisi sekarang. "Lah,sekarang saya sudah tua. Orang jaman batu seperti saya mesti tahu diri," candanya ringan.
Soal gaji guru pun dianggap Slamet sebagai pemicu kesemrawutan pendidikan jaman sekarang. Katanya, jaman Belanda dulu gaji guru lebih besar dua kali lipat daripada gaji dokter, sehingga tak perlu repot seperti sekarang harus cari tambahan."Tidak heran akhirnya dunia pendidikan sekarang dicampurbaurkan dengan bisnis," ucapnya.
Sebagai ahli psikologi, Prof. Slamet dianggap berjasa karena pada tahun 1961 pernah memimpin sekitar lima puluh mahasiswa dari Fakultas Psikologi UI, untuk memeriksa daerah Tebet dan Penjaringan yang terkena gusuran pembuatan Istana Olahraga Senayan. Berkat kunjungan itu terjalin hubungan dan komunikasi antara mahasiswa Fakultas Psikologi dengan penduduk di kedua daerah tadi. Sejak saat itulah pogram mahasiswa turun ke lapangan digiatkan kembali.
Kepiawaian Slamet di bidang neurologi memang tidak diragukan. Padahal, jauh sebelumnya di masa-masa psikologi mengalami kesulitan (waktu itu psikologi hanyalah sebuah jurusan dalam lingkungan FKUI), Slamet meyakinkan para mahasiswanya dan mengatakan kepada mereka, " Saya ibarat seorang yang sedang berdiri seorang diri di tepi pasir yang gersang tanpa pedoman untuk melintasinya sambil mengajak saudara-saudara mengembangkan disiplin ilmu yang baru ini," katanya dalam sebuah pidato ketika menerima penghargaan bintang Mahaputra Utama III pada tahun 1973.
Lelaki tua yang kini menghabiskan masa tuanya dengan sesekali membaca koran dan jalan-jalan di sekitar rumah, ternyata juga menerapkan jadwal pendidikan yang ketat terhadap keluarganya. Terbukti hampir semua ketujuh anaknya merampungkan pendidikan sampai tingkat Perguruan Tinggi. Menurut Slamet, keberhasilannya mengantarkan semua anaknya ke bangku kuliah tak lepas dari peran wanita yang dinikahinya: almarhumah Suprapti Sutejo (meninggal pada November 1983). "Kunci keberhasilan pendidikan anak terletak di tangan isteri atau ibu, karena dialah yang mengatur urusan rumah tangga. Jaman sekarang banyak wanita bekerja dan menelantarkan kewajibannya mengurus anak, hasilnya, ya, kondisi pendidikan anak-anak seperti sekarang, " cerita pak tua yang belakangan ini fisiknya sudah mulai goyah tapi belum pikun ini.
Namun menurut pengamatannya, terlepas dari hal itu semua, kondisi sekarang baik pendidikan maupun sistem sosial politik Indonesia memang sudah mengalami kerancuan. "Maka nggak perlu lagi saya neko-nekomengajukan usulan macam-macam untuk memperbaiki situasi sekarang. Saya ‘kan manusia jaman batu yang sebentar lagi jadi fosil, " katanya sambil tergelak. Slamet bahkan menyarankan supaya pemerintah mulai tanggap karena menghadapi masa depan dengan kondisi seperti sekarang akan jauh lebih berat daripada jaman penjajahan dulu. "Yang penting pemerintahnya mau nggak, mengubah. Lah, sekarang mereka lebih senang dengan ilmu "duitologi" (bisnis, komersil, red), jadi apa-apa, ya, pakai uang," sindirnya pelan.

Nama:Prof. Dr. Slamet Iman Santoso
Tempat/Tgl.Lahir:Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907
Alamat rumah:Jalan Cimandiri No 26, Jakarta Pusat Telp 323137
Agama:Islam
Pendidikan:Europeesche Lagere School (ELS) dan Hollandsch Inlandsche School (HIS), Magelang (1912-1920); Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Magelang (1920-1923); MAS-B, Yogyakarta (1923-1926); Indische Arts, Stovia (1926-1932); Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum (1932-1934).
Karya Tulis:Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sinar Hudaya, Jakarta (1977); The Social Background For Psychotheraphy in IndonesiaPsychiatry dan Masyarakat; Kesejahteraan Jiwa; School Health in the Community; Sekolah Sebagai Sumber Penyakit atau Sumber Kesehatan; Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan Keilmuwan, Dasar-dasar Pokok Pendidikan.
Karir:Pendiri Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1953-1972); Pembantu Rektor Bidang Akademis, Universitas Indonesia (1962-1972); Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1950-1953); Dosen Lemhannas; Dewan Kurator Universitas Mercu Buana.
Bintang Jasa:Mahaputra Utama (III) pada tanggal 19 Mei 1973.

Soerjadi

Soerjadi: dari 27 Juli ke Tahanan Polisi

Soerjadi, mantan Ketua Umum PDI, sejak Selasa (11/4) malam meringkuk di tahanan Mabes Polri. Aparat penegak hukum, agaknya sudah mendapatkan bukti-bukti seberapa jauh Soerjadi terlibat dalam Kasus 27 Juli 1996 hingga ia perlu ditahan. Ia dituduh melanggar Pasal 55 KUHP, yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa "pelaku adalah orang yang melakukan atau turut melakukan atau menyuruh dilakukan suatu perbuatan tindak pidana."
Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Mabes Polri, Engkesman R. Hillep, Soerjadi ditahan karena keterangan yang diberikan untuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) belum mencukupi. "Kami memutuskan menahan Soerjadi sampai mendapat keterangan yang cukup sesuai dengan sangkaan," ujar Engkesman.
Soerjadi lahir di Selur, Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur, 13 April 1939. Tapi itu bukan tanggal lahirnya yang sebenarnya. Itu adalah tanggal lahir yang direka oleh Kepala Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) ketika harus mengisi kolom tanggal lahir sewaktu pendaftaran ujian sekolah. Di kampungnya, waktu itu memang ada kebiasaan, anak-anak yang tak jelas tanggal kelahirannya, kepala sekolahlah yang akan memberikannya –kecuali anak guru.
Soerjadi datang dari keluarga miskin. Kampungnya sendiri, menurut dia, daerah yang sangat miskin dan terisolasi. Sebenarnya, ayah Soerjadi adalah seorang lurah. Tapi ayah itu meninggal ketika ia masih tujuh tahun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibunya berjualan gaplek dan beras. "Beras itu digendong ibu sendiri dari pasar desa yang satu ke pasar desa yang lain," kata Soerjadi dalam buku Membangun Citra Partai: Profil Drs Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI 1986-1993.
Meski begitu, Soerjadi tidak kehilangan keceriaan. Sebagaimana anak-anak sebaya di kampungnya, ia juga suka main sepak bola yang bolanya dari jeruk muda yang dibakar, atau dari isi batang pakis haji yang besar. Kata Soerjadi, bola dari isi pakis haji lebih tahan daripada bola jeruk. Dan permainan itu sendiri tidak dilakukan di lapangan bola, tapi di jalan-jalan setapak kampung. Soalnya, kampung Soerjadi berbukit-bukit, sehingga praktis tidak ada tanah datar yang lapang buat lapangan bola. "Yang menang adalah siapa yang bisa menggiring bola lebih jauh, yang bisa sampai satu kilometer," kenang Soerjadi -- yang ketika kecil juga pernah menggembala berbagai jenis ternak, seperti sapi, kerbau, kuda, kambing.
Selain main sepak bola, Soerjadi kecil juga suka main plencuk, permainan yang menggunakan sepotong kayu yang panjangnya sekitar 50 Cm. Ujung bawah kayu itu bercabang dua dan diruncingkan kira-kira 5-10 Cm. Mereka akan adu ketangkasan: siapa paling jago menancapkan plencuk ke tanah yang lembut. Plencuk hanya dilakukan pada musim hujan, saat tanah tidak keras.
Soerjadi kecil juga seorang kutu buku. Untuk itu ia terpaksa pergi ke kantor Jawatan Penerangan Kecamatan. Di sini ia membaca, atau meminjam buku apa saja untuk dibawa pulang.
Setelah menamatkan SR, Soerjadi melanjutkan pendidikannya ke SMP, tidak seperti teman-teman sebayanya yang memilih SGB (Sekolah Guru Bawah). Ia memang berani berbeda, meski pun itu akan menyulitkan dirinya. Padahal, kalau memilih SGB, otomatis ia akan mendapatkan uang ikatan dinas yang cukup besar. Sehingga, ketika musim liburan misalnya, yang sekolah di SGB tidak perlu repot-repot memikirkan uang untuk beli tiket kereta api pulang ke kampungnya.
Lulus SMP, ia melanjutkan ke SMA di Yogyakarta. Semangat belajar Soerjadi memang besar. Di SMA ia memilih jurusan sastra. Itu tak lain karena ia memang suka membaca sastra, bukan karena sebuah cita-cita. "Waktu itu saya tidak punya cita-cita yang jelas," tuturnya.
Selesai SMA, Soerjadi melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, jurusan Hubungan Internasional. Selama sekolah dan kuliah di Yogya, tak jarang ia hanya makan sekali sehari. Akhirnya, dengan suka dan dukanya, Soerjadi berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1964.
Sejak kecil, Soerjadi sudah dekat dengan PNI. Kakaknya ikut mendirikan PNI di daerah. Ia juga sering membaca koran-koran terbitan PNI. "Fanatisme saya terhadap PNI sudah tidak bisa ditawar lagi," ujarnya. Wajar saja bila semasa kuliah ia aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), onderbouw PNI. Tapi, waktu itu, Soerjadi belum kebagian peran, hanya sempat menjadi pengurus GMNI di tingkat komisariat.
Lepas dari kampus, ia merantau ke Jakarta. Awalnya, ia berniat untuk bekerja di Departemen Luar Negeri, sesuai dengan disiplin ilmunya. Nasib membawanya ke jalur lain. Seorang pengurus PNI menginformasikan kepadanya bahwa kantor PNI membutuhkan seorang sarjana. Karena begitu kentalnya cinta Soerjadi terhadap PNI, ia langsung menerima tawaran itu, dengan syarat: ia hanya mau bekerja di situ dua tahun saja. Ketika PNI pecah -- PNI Asu (Ali Sastroamidjojo-Surachman) dan PNI Osa-Usep (Osa Maliki-Usep Ranawidjaja) -- Soerjadi memilih ikut PNI Osa-Usep.
Kemudian, Soerjadi ditunjuk menjadi Ketua Umum GMNI Osa-Usep. Tampilnya ia di pucuk pimpinan GMNI lebih karena tidak ada orang lain, tuturnya. Dan itu sukses karena ia dikatakan seolah-olah tokoh GMNI dari Yogya, dan waktu itu Ketua Cabang GMNI Yogya memang bernama Surjadi juga. Itu sebabnya Soerjadi merasa kehadirannya di pucuk pimpinan GMNI adalah hasil karbitan.
Praktis keseharian Soerjadi tidak bisa dipisahkan dengan politik. Tahun 1966, Soerjadi menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Selama belasan tahun ia menjadi anggota DPR/MPR. Hanya pada Pemilu 1982, ia sempat tak terpilih sebagai wakil rakyat.
Ketika itu ayah tiga anak ini banting stir menjadi pengusaha, tepatnya Presiden Direktur PT Aica Indonesia. Soerjadi sendiri mengaku, keberadaannya di perusahaan yang memproduksi lem dan formika itu bukan sebagai pemilik saham, cuma sebagai pekerja. Karena tidak ada yang mau menjadi Presdir perusahaan itu --dua Presdirnya meninggal semasa memegang jabatan— jadilah Soerjadi Presdir.
Tahun 1983, suami Srihartarti Wulandari -- Bendaraha GMNI ketika Soerjadi ketua umumnya -- ini diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Tiga tahun kemudian, ia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Lalu, pada periode selanjutnya, ia kembali berkantor di Senayan, dan menjadi Wakil Ketua DPR/MPR.
Ketika masa jabatan Soerjadi habis dan PDI menyelenggarakan kongresnya di Medan, 1993, persoalan pun muncul. Konggres Medan itu macet dan "rontok". PDI terpaksa mengadakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Lagi-lagi, kongres itu menemui masalah. Akhirnya, Kongres bisa memilih Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI, yang kemudian dikuatkan dan disahkan oleh Munas PDI di Jakarta.
Ternyata, penguasa tidak setuju naiknya Mega. Pemerintah di bawah Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk mendongkel putri Bung Karno itu. Lalu, sebuah skenario untuk menggulingkan Mega dirancang. Lahirlah Kongres Medan. Soerjadi, yang konon memang dimaui pemerintah, terpilih kembali
Sepulang dari Medan, PDI Soerjadi punya masalah: kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, masih dikuasai oleh PDI Megawati. Soerjadi kabarnya sempat mengeluarkan ancaman akan merebut paksa kantor itu. Yang jelas, terjadilah penyerbuan ke kantor DPP PDI itu, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa 27 Juli. Peristiwa itu berbuntut kerusuhan massal di Jakarta. Menurut hasil investigasi Komnas HAM, lima orang tewas, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 136 ditahan.
Peristiwa itu terjadi dua hari setelah Soerjadi dan jajaran pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan diterima Presiden Soeharto. Ketika diwawancarai TEMPO suatu kali, dengan enteng Soerjadi menjawab bahwa ia sudah melupakan peristiwa itu. "Itu tahun berapa? 1996? Saya sudah lupakan…, sudah menjadi urusannya DPP, urusannya Budi Hardjono. Biar dia yang menghadapi, ha..ha…ha," ujar Soerjadi. Tetapi kini, setelah polisi menanyakan soal kasus itu, tentu Soerjadi harus mengingat-ingat kembali. Meskipun pertanyaan penegak hukum itu pun kerap dijawab "lupa" oleh Soerjadi. (mis)

Nama : 
Soerjadi
Lahir : 
Selur, Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur, 13 April 1939
Pendidikan 
Fakultas Sosial dan Politik UGM (1964)
Karir :
- Anggota DPR-GR/MPRS dan Anggota DPR-RI/MPR (1966-1982)
- Ketua Komisi X DPR RI (1974-1982)
- Anggota DPA (1983-1987)
- Presiden Direktur PT Aica Indonesia
- Wakil Ketua DPR/MPR-RI, (1987-1997)
Organisasi :
- Anggota PNI (1959-1973) - Ketua Umum GMNI (1966-1976) - Anggota PDII (1973-sekarang) - Pendiri dan Ketua DPP KNPI (1974-1978) - Ketua Umum DPP PDI (1986-1993)
Alamat rumah :
Jalan Grinting II/18 Blok A
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Pius Lustrilanang

 pernah mengatakan bahwa dirinya menghilang selama dua bulan untuk menenangkan diri.
Waktu berubah, Pius akhirnya bicara. Dan orang bertanya-tanya, siapa anak muda ini? Ia tidak berasal dari keluarga aktivis, apalagi aktivis politik. Ia terlahir dari pasangan Profesor Djamilus Zainuddin (alm) dan Fransiska Sri Haryatni. Ayahnya, Guru Besar Fakultas Teknik Kimia, Universitas Sriwijaya Palembang, adalah anak pedagang hasil bumi asal Padang. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga guru dari Yogyakarta. "Tidak ada dalam keluarga kami yang aktif di bidang politik, hanya Pius ini," kata Ny. Djamilus, Ibunda Pius.
Sang Ibu, sering berdoa agar anak yang lahir dari kandungannya nanti bisa menjadi bintang keluarga. Dan Pius kecil pun, tumbuh menjadi anak kecil yang periang. "Ia anak pintar omong, ini mungkin menurun dari neneknya yang tangkas berbicara di depan banyak orang," kata Ny. Djamilus kepada TEMPO Interaktif.
Setamat sekolah menengah atas De Brito Yogyakarta (1987), Pius mulai tertarik pada politik. Ia sering bergaul dengan mahasiswa UGM Yogyakarta yang saat itu tengah dilanda semangat ber-Golongan Putih. Selepas SMA, Pius lebih memilih Jurusan Hubungan Internasional Fisipol Universitas Katolik Parahyangan Bandung, ketimbang kuliah di Sastra Perancis Universitas Padjajaran tempat yang semula diminatinya juga. Ia lulus dari Bandung pada tahun 1995.
Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya Pius terjun langsung berdemonstrasi. Ia bergabung dalam Badan Koordinasi Mahasiswa Bandung, juga ikut membela nasib petani Badega, Jawa Barat. Pada tahun 1990, Pius bergabung dengan KPM-URI. Tahun 1991, Pius bersama beberapa temannya mendirikan Komite Pergerakan Mahasiswa Bandung atau KPMB. Organisasi ini diikuti sebelas kampus di Bandung. Kemudian pada 1993, Pius merintis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), hingga berdirinya pada tahun 1994.
Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998 lalu, bersama dengan seniman Ratna Sarumpaet, dan beberapa aktivis mahasiswa lainnya di Jakarta, Pius yang mengaku kagum akan Soekarno, Hatta dan Syahrir ini, mendirikan Solidaritas Indonesia Untuk Amien Rais dan Megawati, disingkat SIAGA. Organisasi itu lahir untuk mendukung Amien dan Mega sebagai calon presiden RI perode 1998-2003. Di SIAGA, Pius menjabat sebagai Sekjen.
Selama lebih dari sembilan tahun menjadi demonstran, setidaknya sudah tiga kali Pius menjadi korban keberingasan aparat keamanan. Pertama kali ketika membela petani Badega, Jawa Barat. Kedua kalinya, dalam sebuah demonstrasi mendukung Megawati (kasus 27 Juli) di Bandung, kala itu Pius mendapat luka memar di 14 tempat di sekujur tubuhnya. Dan yang terakhir, adalah penculikan yang sekarang ini.
Sikapnya untuk peduli kepada nasib orang kecil, tertanam dari keluarganya sebagai penganut Katolik yang taat. Ibunya, Ny Djamilus, Selalu menekankan kepada Pius untuk bersikap asih kepada sesama, tidak lekas marah apalagi dendam. "Nilai-nilai itulah yang saya yakini dan saya ajarkan juga kepada Pius," katanya kepada TEMPO Interaktif.
Kiprah politik Pius itulah yang tidak bisa dipisahkan dengan kasus penculikannya pada tanggal 4 Februari 1998. Ketika ia akan menjenguk seorang temannya yang sakit dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, Salemba Jakarta, tiba-tiba ia disergap sekelompok orang tak dikenal. Kala itu, bersamaan dengan raibnya Pius, Desmon J. Mahesa, Direktur LBH Nusantara, Jakarta juga tidak diketahui rimbanya.
Banyak analisis muncul berkaitan dengan menghilangnya dua aktivis LSM. Dari kalangan aktivis, diculik aparat keamanan untuk memuluskan jalan Sidang Umum MPR 1998 lalu. Dan hal inilah yang juga diyakini oleh ibunda Pius. "Walaupun tidak ada orang yang memberitahu saya, akan keberadaan Pius, saya yakin ia diamankan pemerintah berkaitan dengan Sidang Umum MPR," kata ibu yang aktif di Sebuah Yayasan Pendidikan Katolik di Pelembang, Sumatera Selatan ini.
Dan ketika ia "dimunculkan", Pius memilih bersaksi di Komnas HAM, sebuah pilihan yang berani. Kesaksiannya itulah yang mengantarkan Pius harus meninggalkan Indonesia. Ia memilih Belanda, bisa saja untuk menenangkan diri. Paling tidak menghindari kekhawatiran atas ancaman dari para penculiknya yang akan menghabisi nyawanya jika ia menceritakan kejadian yang dia alami.
Pius memilih jalan berat itu. "Ia ingin menegakkan kebenaran, walaupun harus mati, seperti yang dialami Tuhan Yesus yang ia yakini," ucap Ibunda Pius menirukan kata-kata terakhir Pius sebelum berangkat ke Jakarta.
Dialah orang pertama yang berani mengungkapkan penculikannya kepada dunia.
EB

Edisi 09/03 - 2/Mei/1998

Wiro Sugiman

Wiro Sugiman 
“Apa pun Akan Saya Korbankan’’
Wiro Sugiman, 40 tahun, bukan lagi laki-laki biasa. Ia kini telah menjadi seorang selebritis: wajahnya kerap muncul di layar televisi, namanya sering menghiasi media cetak, radio dan situs-situs berita. Publisitas dadakan ini adalah buah aktivitasnya di Front Pembela Kebenaran (FPK), sebuah ‘paguyuban’ yang mengorganisasi relawan berani mati pendukung Presiden Abdurrahman Wahid.
Sebenarnya, posisi Wiro di organisasi itu hanya kordinator pendaftaran. Dalam kapasitas itulah ia memberi informasi kepada wartawan yang mewawancarainya. Namun lambat laun secara tidak sengaja ia populer sebagai Koordinator FPK. Entah siapa yang memulai. ‘Kecelakaan’ ini kabarnya bermula dari kekeliruan wartawan yang salah dalam mengutip jabatan Wiro di organisasi itu.
Kesibukan baru jelas membawa pengalaman. Itu pula yang dialami lelaki jebolan kelas II Sekolah Teknologi Menengah (STM) itu. Ia harus sabar dikejar-kejar wartawan untuk wawancara. Sampai-sampai, terkadang ia tidak ingat kalimat yang diucapkannya. Ia pernah pula punya pengalaman yang menggelikan. Misalnya, ketika diwawancarai sebuah televisi beberapa kali Wiro menundukkan kepala. Kalimatnya patah-patah. Ternyata ia sedang membaca kertas contekan yang memberinya panduan jawaban.
Jawaban Wiro pun terkesan apa adanya. “Ya, saya menghormati bila Presiden berpesan demikian. Karena beliau memang berwenang. Tapi..., ya, bagaimana lagi sudah terlanjur begini,” katanya kepada seorang reporter radio swasta yang mengkonfirmasikan pesan Juru Bicara Kepresidenan, Adhie Massardi, tentang penolakan Presiden Abdurrahman terhadap gerakan pendaftaran relawan berani mati.
Kendati lurus-lurus saja dalam menjawab, bukan berarti Wiro tak banyak akalnya dalam meladeni pertanyaan reporter. Ketika ia bingung berat menjawab si wartawan dia langsung mengakhiri wawancaranya. Lalu ia bergegas masuk ke sebuah ruang. Rupanya di sana ada dua orang yang memberikan briefing kilat dengan membisikkan contoh-contoh jawaban yang harus dikemukakannya. Wiro pun tampak serius memperhatikan dan manggut-manggut. Setelah itu, ia menyingkir ke pojok ruangan dekat kamar mandi agar tidak terlihat orang banyak.
Apa yang dilakukan Wiro? Rupanya ia sedang menghafal jawaban yang dipesankan padanya. Ia sungguh-sungguh. Wajahnya serius. Bibirnya bergerak-gerak kuat, tapi suaranya lirih. Sedang jari telunjuk tangannya, ikut mengiringi, mengacung-acung seperti orator yang berpidato di hadapan publik: “Jadi, posko dan pendaftaran ini dilakukan tanpa izin, restu dan perintah dari Gus Dur. Ini murni kehendak rakyat, yang ingin menyelamatkan bangsa dan negara, yang akan diacak-acak musuh politik Gus Dur,” tuturnya sendirian.
Kalimat itu diucapkan beberapa kali. Setelah fasih betul, ia keluar menemui wartawan. Dan, meluncurlah jawaban itu, yang kemudian dicatat seksama dan direkam oleh kuli disket.
Begitulah gaya Wiro. Sosoknya memang polos. Namun, ia selalu tersenyum simpul, setengah malu-malu, bila digoda mengenai ketenaran dirinya. Kalau sore, ia rajin nongkrong di depan televisi, melihat berita mengenai posko yang dipimpinnya itu.
Sebelumnya, Wiro sama sekali tak pernah berurusan dengan wartawan. Tetapi dalam beberapa hari, ia telah belajar banyak perihal menjadi juru bicara resmi. Ada rahasia di balik kecakapan instant yang dimiliki Wiro? Awalnya, ia harus membaca semacam panduan yang memuat beberapa daftar pertanyaan, yang lazim disampaikan wartawan. Siapa yang membuat contekan tersebut? Wiro tak mau menyebutnya dan hingga kini pun tidak ada aktivis FPK yang bersedia membocorkan asal usul berbagai pertanyaan dan jawaban itu .
* * * Di tubuh Wiro mengalir darah etnis Madura. Kedua orangtuanya memang berasal dari pulau garam di seberang Jawa Timur tersebut. “Tapi, saya lahir dan besar di Surabaya,” akunya. Kini dua anaknya sudah tumbuh besar. Yang sulung tengah menempuh kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, sedang si bungsu masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sejak ramai aksi mendukung Gus Dur, Wiro telah aktif total di dalamnya. Istri dan anaknya sering ditinggal di rumah. “Mereka sudah terlatih, jadi tidak ada masalah,” ujarnya.
Ketika remaja, Wiro mengaku sangat nakal. Itu pula yang membuat sekolahnya putus di tengah jalan. Ketika usia 16 tahun, ia pernah terbawa kereta api hingga Jakarta. Beberapa hari tidak kembali. Keluarganya sempat mengumumkan ‘kehilangan’ Wiro yang tiba-tiba itu melalui Stasiun Radio Republik Indonesia. “Begitu pulang ke rumah, [saya] langsung dihajar bapak,” ujarnya mengenang.
Setelah putus sekolah Wiro lantas mengisi hari-harinya sebagai sopir angkutan kota (Angkot), bus dan colt. Pekerjaan itu telah dijalani bertahun-tahun. Kini, dengan sebuah angkot miliknya yang disewakan kepada orang lain, Wiro cukup ongkang-ongkang kaki menerima setoran. Sehari, uang masuk berkisar antara Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu. Praktis, urusan dapur rumah tangga tak membuat risau dirinya. Setiap hari mengepul, meski ditinggal malang melintang untuk aktivitas politik.
Wiro cukup berpengalaman dalam organisasi. Pergaulan dirinya lekat sekali dengan kalangan massa di tingkat akar rumput. Selain aktif di kampung, ia juga memegang posisi sebagai Ketua Paguyuban Angkot Lyn DA yang melayani jurusan Darmo Permai ke Pasar Atom di Surabaya. Jabatan yang dipegangnya sejak 1986 itu telah membuatnya bergaul secara intensif dengan orang lapisan bawah, mengorganisasi dan mengaturnya, sehingga ladang rezeki bisa dinikmati bersama. “Teman-teman banyak yang protes, karena saya tinggal lama untuk FPK ini," Wiro mengaku.
Ia juga pernah aktif dua tahun di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Cabang Surabaya. Di sektor perburuhan, ia aktif bersentuhan dengan pekerja-pekerja pabrik. Ia tahu persis pahit getirnya nasib mereka. Aktivitas ini telah membawa dirinya sebagai demonstran. Beberapa kali, Wiro terlibat aksi unjuk rasa buruh.
Wiro mengaku telah lama menjadi warga Nahdliyin. Namun, ia bukan anggota Banser (Barisan Serba Guna). Ia belum boleh memakai seragam pasukan benteng ulama Nahdlatul Ulama itu. “Karena Wiro belum pernah ikut diklatsar (pendidikan dan latihan dasar), yang wajib diikuti setiap calon anggota Banser,” ujar Imam Ghozali Aro, Wakil Ketua Ansor Jatim. Tapi, di PKB, ia menjadi anggota satgas Garda Bangsa, Kecamatan Bubutan, Surabaya. Jam terbang Wiro dalam aksi unjuk rasa membuatnya paham dengan situasi lapangan. Beberapa saksi mata mengungkapkan pada semua unjuk rasa mendukung Presiden Abdurrahman, Wiro selalu berada di depan. Pantang bagi dirinya berteriak-teriak di belakang. Termasuk, saat hiruk-pikuk demonstrasi di Jakarta, ia tak mau ketinggalan. Sampai-sampai ia menjual seperangkat radio komunikasi terbaik yang dia miliki, sekadar untuk biayai pergi demo di Jakarta. Padahal, ia sangat doyan nge-break. Dan, uang hasil jualan itu habis ketika dirinya pulang ke Surabaya.
Lalu, siapkah ia mati syahid untuk membela pemerintahan Gus Dur? “Apa pun akan saya korbankan. Apalah arti uang dan harta, nyawa pun saya siap memberikan,” cetusnya tidak main-main. “Saya percaya, kalau pun mati di medan perjuangan, akan masuk surga, karena mati syahid.” Ia mengaku begitu jengkel dengan agitasi politisi di DPR, juga kepada mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa di Jakarta yang gencar mengkampanyekan tuntutan Presiden Abdurrahman harus mundur.
Karena militansi dan loyalitas itu, membuat Wiro diperhitungkan kalangan aktivis pendukung Presiden Abdurrahman di Surabaya. Kini ia selalu ikut dalam rapat-rapat khusus membahas gerakan massa. Wiro pula yang dipercaya aktivis FPK untuk mengelola pendaftaran relawan mati syahid. Dan, tugas itu diembannya dengan senang hati meski semula ragu, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya.(MIS/Adi Sutarwijono)

Nama : 
Wiro Sugiman
Lahir : 
Surabaya, 40 tahun lalu.
Pendidikan : 
- SD
- SMP
- STM di Surabaya
Organisasi : 
- Ketua Paguyuban Angkota Lyn DA, trayek Darmo Permai-Pasar Atom
- Aktivis SPSI Cabang Surabaya
- Kordinator Front Pembela Kebenaran
Alamat Sekretariat FPK
Jalan Kapuas No. 58 Surabaya. 

Sumanto


Sumanto 
Sang Kanibal dari Purbalingga
Sumanto, begitulah laki-laki berumur 31 tahun lalu itu dinamakan. Orang tuanya, Mulya Wikarta (67 tahun) dan Samen (60), tak pernah ‘bermimpi’ anaknya akan tumbuh menjadi seorang kanibal - yang memakan tubuh tetangganya sendiri. Namun, pada Selasa (14/1) malam lalu, Wikarta justru dikejutkan dengan ‘mimpi buruk’, ketika polisi membekuk Sumanto sebagai pencuri mayat wanita tua, dan dinyatakan memakan daging mayat tersebut. Celakanya lagi, karena tidak tahu sang ayah juga ikut makan bersama anaknya, setelah potongan daging Mbah Rinah dibakar oleh Sumanto.
Peristiwa tersebut mulai terkuak ketika berita hilangnya mayat seorang nenek berusia 81 tahun yang belum sampai 24 jam dikubur di kuburan Desa Mojotengah, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah. Warga setempat geger karena kuburan Mbah Rinah sudah acak-acakan. Mereka lebih dibuat geger lagi ternyata mayat Mbah Rinah sudah raib. Berita tersebut segera menyebar sampai ke desa tetangga. Malahan ada yang membumbuinya dengan hal-hal yang berbau mistis sehingga membuat warga desa ‘terteror.’ Kaum perempuan tak berani tidur sendirian, para lelaki melakukan ronda sampai pagi. Ketegangan baru berakhir saat polisi membekuk Sumanto di rumahnya sekitar lima kilo meter dari makam Mbah Rinah. Sumanto rupanya teledor. Ia tak memperhitungkan ‘sisa’ mayat yang ia tanam di depan rumahnya bakal menyebarkan bau busuk. Warga yang mencium aroma tak sedap curiga, lalu melapor ke polisi.
Sumanto tak berkutik karena polisi menemukan potongan tubuh dan tulang-tulang Mbah Rinah di rumahnya. Selain itu Polisi juga mendapati tengkorak manusia, dua alat vital laki - laki dalam botol. Kepada Polisi Sumanto mengaku dirinya sedang memperdalam ilmu di bawah bimbingan seorang ‘guru.’ Dengan memakan mayat badannya akan menjadi kebal, tak terluka oleh goresan senjata, dan mendapat ketenangan batin.
Perburuan Sumanto terhadap mayat Mbah Rinah dimulai sejak Sabtu (11/1) pukul 19 00 WIB. Saat itu ia mulai menggali kuburan Mbah Rinah yang telah diamatinya sejak sore. Kain kafan pembungkus mayat Mbah Rinah yang dimakamkan Sabtu siang itu, baru berhasil ia sentuh pada Minggu pukul dua dini hari. Hal itu dikarenakan pembongkaran kuburan ia lakukan dengan tangan kosong tanpa menggunakan alat bantu. Setelah mayat Mbah Rinah dikeluarkan dari liang kubur, kain kafan yang membalutnya dilucuti dan ditinggalkan begitu saja. Mayat kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik lalu diangkut dengan sepeda onthel menuju rumahnya yang berjarak sekitar 1,7 km.
Sesampainya di rumah, Sumanto memotong alat vital Mbah Rinah dan membungkusnya dengan kain merah. Saat ia ditangkap Polisi menemukan bungkusan kain merah itu di saku bajunya. Selanjutnya, ia memotong-motong mayat seperti orang memotong daging ayam. Lantas dipotong-potong sebagian dibakar, dimasak dengan kuali dan sebagian dimakan mentah-mentah.
Saat rekonstruksi kasus ini dilaksanakan pada pada Sabtu (18/1) pagi, warga tampak histeris dan merasa jijik. Meski alat peraga dalam rekonstruksi itu hanyalah daging dan tulang sapi mentah, Sumanto tampak antusias melahapnya. Meski rekontruksi dilakukan pagi pukul 06.30, namun rekonstruksi tersebut mendapat perhatian luas dari masyarakat sekitarnya. "Sengaja kita lakukan rekonstruksi pagi-pagi sekali untuk menghindari kerumunan warga. Namun kenyataannya, masyarakat tetap banyak yang melihat. Untungnya, rekontsruksi berlangsung lancar," kata Kapolres Purbalingga, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Agus Sofyan Abadi, saat mempimpin acara tersebut. Tak hanya itu, ternyata ini bukan pertama kalinya Sumanto ‘menikmati’ daging manusia. Sumanto mengaku bahwa sebelumnya ia telah memakan tiga tubuh manusia selain Mbah Rinah. Korban pertama yang ia makan adalah seorang perampok yang semula akan membegalnya. Perampok itu sempat duel dengan Sumanto. Ia berhasil membunuhnya dan kemudian memakan daging tubuhnya mentah-mentah. Peristiwa kedua adalah korban kecelakaan kereta api. Ketika dia berjalan di pinggir rel di sekitar daerah Rajabasah, ia menemukan potongan kaki manusia. Seketika itu ia makan mentah-mentah. Kemudian kejadian ketiga adalah seorang begal yang juga berhasil ia bunuh. Begal itu kemudian dimakan Sumanto bersama temannya yang ia lupa namanya. Korban ketiga ini, kemudian ia ambil penisnya dan dijadikan kalung.
Hanya saja saja polisi belum percaya begitu saja dengan pengakuan Sumanto. Pasalnya, seluruh empat korban itu, belum termasuk dengan misteri keberadaan Mistam si tukang pijat yang hilang setelah memijat Sumanto. Pakaian Mistam sendiri, berhasil ditemukan di rumah Sumanto. Kemudian, keberadaan seorang bocah usia belasan warga Mandiraja Banjarnegara, yang juga dilaporkan hilang setelah bermain di sekitar rumah Sumanto. Atas perkembangan pemeriksaan tersebut, Kapolres Agus Sofyan Abadi meminta kepada masyarakat sekitar untuk melapor ke polisi jika merasa kehilangan angota keluarganya.
Melihat perbuatannya yang ‘kelewat-lewat’, sejumlah warga menduga Sumanto tak waras. Namun tampaknya dugaan itu keliru. Menurut Kapolres Purbalingga Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Agus Sofyan Abadi, saat diperiksa polisi Sumanto menjawab pertanyaan dengan lancar, tak berbelit-belit. Setelah diperiksa oleh tim psikologi Polda Jawa Tengah, Sumanto dinyatakan sebagai psikopat. Semua perbuatan Sumanto, dilakukan secara sadar bahkan dengan pertimbangan yang matang. "Misalnya untuk kasus mencuri mayat Mbah Rinah dan kemudian memakannya, semuanya sudah disiapkan, sudah direncanakan. Sumanto melakukan semua itu dalam keadaan sehat dan sadar," kata AKBP Purnomo, ketua tim pemeriksa Sumanto yang juga Kadis Psikologi Polda Jateng. Untuk memastikan apakah Sumanto benar-benar waras atau tidak, sejak Kamis lalu Polisi mengirimnya ke RSUD Banyumas selama 14 hari.
Perilaku miring Sumanto diduga berawal dari pengalaman Sumanto selama merantau ke Lampung. Saat di Lampung itu Sumanto bertemu dengan searang guru spiritual yang bernama Taslim. Taslim mengajarkan bahwa memakan mayat manusia dapat memberikannya kesaktian dan kekayaan. Kata Purnomo, waktu ia berada di Lampung terjadi perubahan perilaku yang cukup signifikan. "Artinya, pengalaman-pengalaman itu telah membuat Sumanto seperti telah menemukan dunianya yang baru. Dia tidak lagi memperhatikan asas norma kelaziman seperti makan daging mentah bahkan daging manusia. Ini kan tidak lazim, tapi Sumanto dengan sadar melakukannya," kata Purnomo.
Entah apa yang Sumanto rasakan ketika ia mengunyah daging korban-korbannya. Namun, paling sedikit, empat tubuh telah dilahapnya. Dalam rapat desa, warga Desa Plumutan telah sepakat untuk mengusir si kanibal dari desa. Tak hanya itu, mereka menuntut aparat untuk menghukum Sumanto dengan hukuman seberat-beratnya. Paling tidak, saat ini warga desa dapat kembali tidur dengan tenang.
Lain halnya dengan Mulya Wikarta dan Ny Samen, orang tua Sumanto. Mereka harus menahan malu akibat ulah anak mereka. Bukan salah mereka menamakan anak mereka Sumanto. Bukan salah mereka, jika orang menafsirkan Sumanto menjadi kepanjangan dari Suka MAkaN Tubuh Orang. (Indra Darma -- TNR/dari berbagai sumber)

Nama : 
Sumanto
Usia : 
30 tahun
Orang tua : 
Mulya Wikarta (67 tahun) dan Samen (60)

Widjojo Nitisastro

Nama:Prof. Dr. Widjojo Nitisastro
Tempat, tanggal lahir:Malang, Jawa Timur, 23 September 1927
Agama:Islam
Rumah:Jalan Brawijaya IV/22, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Pendidikan:
  • SMT (setingkat SMA),
  • Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
  • Universitas California, Berkeley, AS (Ph.D., 1961)
Karya tulis:
  • Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia (bersama Prof. Dr. Nathan Keyfiz)
  • Population Trends in Indonesia
  • The SocioEconomic Research in a University
  • The Role of Research in a University
Karier:
  • Perencana pada Badan Perencanaan Negara (1953-1957)
  • Direktur Lembaga Ekonomi dan Riset UI dan Dekan FE UI (1961-1964, 1964-1968)
  • Guru Besar Ekonomi UI (1964 --1993)
  • Dosen Seskoad (sejak 1962)
  • Dosen Lemhanas (sejak 1964)
  • Direktur Lembaga Ekonomi dan Kebudayaan Nasional (Leknas), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1964-1967)
  • Ahli PBB bagi penilaian pelaksanaan dasawarsa Pembangunan II dan anggota Governing Council of United Nations Institute of Development (1967)
  • Ketua Bappenas (1967-1971)
  • Ketua Delegasi Rescheduling Utang RI (1967)
  • Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1971-1973)
  • Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas (1973-1978 dan 1978- 1983)
  • Penasihat Bappenas (1983 -- sekarang)
  • Penasehat Pemerintah RI
  • Penasehat Ekonomi Presiden (1993-sekarang)
Penghargaan:
  • Elise Walter Haas Award dari Universitas Berkeley, AS (1984)
  • Piagam Hatta (1985)
  • Penghargaan Kependudukan (1992).


Di tengah ributnya gejolak moneter, nama Widjojo Nitisastro tiba-tiba meroket kembali. Itu tentu berkaitan dengan penugasan Presiden Soeharto kepada Widjojo untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan krisis moneter yang melanda Indonesia sejak beberapa bulan belakangan.
Kepastian tampilnya arsitek ekonomi orde baru ini ditetapkan hari Rabu lalu, ketika berlangsung sidang kabinet bidang ekkuwasbang yang dipimpin Presiden Soeharto. "Sejumlah keputusan yang berkaitan dengan perkembangan moneter akhir-akhir ini akan dikordinasikan Prof. Widjojo Nitisastro," kata Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad ketika menjelaskan hasil sidang kabinet bersama Menpen Hartono dan Gubernur BI Soedradjat Jiwandono di Bina Graha, Kamis 9 Oktober 1997 lalu.
Bukan sesuatu hal yang luar biasa kalau Presiden Soeharto menugasi Widjojo untuk mengatasi persoalan tersebut. Karena ia memang sangat handal pada bidang ini. Sejak awal orde baru ia telah dipercaya sebagai orang yang turut memikirkan dan bertanggungjawab terhadap perekonomian Indonesia. Sehingga tak heran kalau ada yang menyebut dirinya sebagai "arsitek utama " perekonomian orde baru. Dan majalah AS terkemuka, Newsweek, menyebut Widjojo sebagai orang "yang tak diragukan lagi punya dampak individual terbesar dalam perekonomian Indonesia." (TEMPO, 26 Maret 1983).
Pada usianya yang relatif sangat muda, 39 tahun, ia telah dipercaya sebagai ketua tim penasehat ekonomi presiden pada tahun 1966. Kemudian, beberapa kali ia duduk sebagai menteri kabinet pada posisi yang sesuai dengan bidang tugasnya, yakni ekonomi. Dari tahun 1971 sampai 1973 ia menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemudian secara berturut-turut, dari tahun 1973 sampai 1983, ia dipercayakan sebagai Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas.
Menurut beberapa kalangan, Presiden Soeharto sangat percaya pada Widjojo. Loyalitas Widjojo agaknya adalah jawaban mengapa Presiden selalu memanggilnya pada saat kritis. Dan loyalitas itu pula yang tampaknya yang membuat Widjojo dicintai anak buahnya. Mereka masih tetap memberi laporan kepadanya, meskipun ia tidak lagi menjadi menteri. (TEMPO, 2 Februari 1985).
Meskipun begitu, ia juga pernah dikecam. Tahun 1970, sebuah majalah kaum "Kiri Baru" Amerika, menyebutnya sebagai tokoh gerombolan "Mafia Berkeley". Maksudnya, ia disebut sebagai antek Amerika karena dididik di kampus Berkeley AS. Setahun kemudian, kecaman itupun sempat "dicuatkan" kembali (beberapa) koran di Indonesia. Di situ digambarkan bahwa Widjojo telah menyusun suatu strategi pembangunan yang kurang lebih telah menyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia ke tangan Barat.
Tapi sikap Widjojo terhadap hal itu biasa-biasa saja. Seperti dituliskan majalah TEMPO edisi 26 Maret 1983, di depan publik Widjojo tidak menyinggung soal itu. Tapi mereka yang dekat dengannya serta para pengagumnya di kalangan intelektual, segera memberi pembelaan bahwa tuduhan seperti itu tidak benar.
Ekonomo terkemuka, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang juga seniornya, mempunyai kesan mendalam tentang Widjojo. Hal itu diungkapkan setelah Soemitro dan Widjojo menerima penghargaan Piagam Hatta dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 1985 silam. ''Sebagai kakak, saya merasa bangga mempunyai adik yang tampil sebagai arsitek orde baru, dimana saya ikut sebagai satria pendamping dan pesertateam,'' kata Sumitro, yang sepuluh tahun lebih tua dari Widjojo, seperti dikutip TEMPO edisi 2 Februari 1985. Pemberian penghargaan kepada Widjojo itu karena ia dinilai telah membuktikan dirinya, sebagai perencana yang tangguh, sekaligus pelaksana rencana yang konsisten.
Jauh sebelumnya ketika masih menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), bersama seorang ahli dari Canada Prof. Dr. Nathan Keyfiz, Widjojo dengan gemilang menulis sebuah buku, yang menjadi salah satu buku yang amat populer di kalangan mahasiswa ekonomi pada tahun 1950-an. Buku itu berjudul Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Mohammad Hatta (alm.) dengan bangga memberi kata pengantarnya. Di situ Hatta menulis: ''Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Canada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkannya dalam buku yang berbobot.''
Widjojo berasal dari keluarga pensiunan penilik sekolah dasar. Ayahnya, seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra), yang menggerakkan Rukun Tani. Beberapa saudaranya, menolak bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dan menjadi guru Taman Siswa.
Tidak banyak informasi mengenai masa kecilnya. Yang jelas, ketika pecah Revolusi Kemerdekaan di Surabaya, ia baru duduk di kelas I SMT (tingkat SMA). Pada tahun 1945 Widjojo bergabung dengan pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai TRIP. Seorang teman dekatnya, Pansa Tampubolon -- pendeta Advent yang kini bekerja di sebuah grup penerbitan -- bercerita tentang kegigihan Widjojo. Katanya, ''Widjojo anak pemberani. Bertempur dengan granat di tangan, ia nyaris gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari Surabaya.''
Usai perang, Widjojo sempat mengajar di SMP selama tiga tahun. Kemudian ia kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia dan mengkhususkan diri pada bidang demografi. Berkat kecerdasan dan kegigihannya, ia lulus dari FE UI dengan predikat cum laude. Kemudian saat mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley, California, AS, 1961, Widjojo muncul sebagai sarjana paling menonjol. Dan sejak itu kariernya melesat.
Pada awal tahun 1980-an, namanya sempat pula mencuat sebagai bakal calon wakil presiden periode 1983-1988. Ia dicalonkan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko), suatu organisasi beranggotakan bekas aktivis angkatan 66. Tapi hal itu serta merta dibantah Widjojo. "Saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk jabatan wakil presiden," kata peraih Penghargaan Kependudukan 1992 ini (TEMPO, 5 Februari 1983).
Tahun 1984, Widjojo menerima penghargaan dari Universitas Berkeley, California, AS, yakni Elise Walter Haas Award. Perhargaan tradisi tahunan universitas tersebut diberikan kepada bekas mahasiswa asing yang jasa-jasanya dianggap menonjol. Dan Widjojo merupakan orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan ini.
Widjojo memang seorang pekerja keras. "Biasa membawa pekerjaan ke rumah, dan tidak jarang menyelesaikannya sampai malam," kata Sulendra, sekretaris pribadinya sejak tahun 1971 suatu kali. Dan prestasi-prestasinya merupakan buah ketekunan dan kerja keras itu.
Bahkan, konsep Widjojo – yang kerap disebut pers sebagai Widjojonomics – terbukti telah menumbuhkan ekonomi Indonesia dengan pesat. Yang paling menonjol dalam konsep itu adalah prinsip kehati-hatian yang "sangat" (prudent). Dan konsep itu sempat pula mendapat "tandingan" dari grup Habibie – yang oleh pers disebut sebagai Habibienomics.
Orang bilang, stabilitas politik menjamin tumbuhnya ekonomi di negeri ini. "Doktrin" seperti itulah yang sudah diterapkan orde baru sejak lahirnya orde yang diharapkan jadi pembaharu ini. Dan kini saat stabilitas politik sangat terjaga baik, toh resesi menyergap negeri. Adakah ini semacam "anomali" konsep pembangunan ekonomi orba yang lahirnya dibidani Widjojo cs? Jawaban itulah yang menarik ditunggu, sembari menyaksikan kiat Widjojo Nitisastro, ekonom senior yang baru saja genap 70 tahun itu, memberesi ekonomi negeri.
MIS

Edisi 32/02 - 11/Okt/1997
Analisa & Peristiwa