Profil Sukmawati Soekarnoputri:
Saya Lebih Suka Membela yang Tersingkir
Di antara anak-anak Soekarno -- mantan Presiden RI -- Diah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri-lah yang paling suka berpenampilan . Salah satu ciri yang selalu melekat adalah selalu berbusana dan mengenakan asesoris bergaya etnik. Rumahnya, di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, juga dipenuhi dengan tumpukan barang-barang antik. Tokoh Gerakan Rakyat Marhein (GRM) ini memang mencintai dunia seni; mulai dari seni tari, seni lukis, dan belakangan juga menulis. Kecintaannya pada bidang seni, membuat Sukma begitu betah berlama-lama nongkrong di Taman Ismail Marzuki (TIM ), berkumpul dengan rekan sesama seniman.
Ia sangat kagum pada ayahnya. Baginya, Bung Karno adalah sosok yang amat sederhana. Kekagumannya itu dituturkan ke banyak orang, juga kepada Putra, anak satu-satunya dari perkawinannya yang kedua denganHelmi Syarif. Sukma menceritakan tentang kehebatan Bung Karno, yang dalam kondisi miskin, terus berjuang, berani menentang Belanda, bahkan masuk penjara karena menentang penjajah.
Dilahirkan sebagai anak keempat dari ibu Fatmawati pada tanggal 26 Oktober 1951, Sukma merupakan anak perempuan bungsu. Tahun 1974, ia menikah dengan Sujiwo, putra Mangkunegara VIII. Konon, perjodohan mereka sudah terjadi sejak dalam kandungan. Sayangnya pasangan yang dikarunia dua anak -- Pondra dan Menur -- ini, hanya bertahan lima tahun.
Sejak usia remaja Sukma sudah aktif di organisasi. Tahun 1963/1964, misalnya, ia pernah menjadi sukarelawati Dwikora. Wanita bersosok
ceking
ini pernah bercita-cita menjadi penerbang. Tetapi keterbatasan fisik dan perhatiannya ke dunia politik menggeser minatnya itu. Untuk itu, setamat dari SMA, Sukma langsung memilih Jurusan Ilmu Politik, di Universitas Indonesia.
Namun, kondisi politik saat itu tidak memungkinkannya untuk menyelesaikan kuliah itu. Nasib yang sama juga dialami saudara-saudaranya yang lain, seperti Guntur dan Mega, yang masing-masing terpaksa angkat kaki dari ITB dan Universitas Padjajaran. Setelah hengkang dari UI, Sukma bergabung dengan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Institut Kesenian Jakarta). Di sini pun Sukma tak meninggalkan ciri aktivisnya untuk membela yang kalah dan tersingkir. Ketika pemerintah DKI menggusur becak pada pertengahan 1980-an, dengan bersemangat ia mengantar para pengemudi becak berdemonstrasi ke DPR.
Sekarang, untuk menopang hidup sehari-hari, Sukma berdagang barang seni dan antik. Walaupun, hasil yang diperolehnya tidak menentu, aktivitasnya di bidang politik tidak pernah surut. Belakangan ia turut ambil bagian pada long march PDI yang berbuntut bentrokan fisik dengan pihak keamanan, pekan lalu.
Edisi 18/01 - 29/Jun/1996 |
Analisa & Peristiwa |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar