Profil |
Prof. Dr. Slamet Iman Santoso |
Saya Ini Orang Jaman Batu dan Akan Menjadi Fosil
Pepatah bilang: ada ubi ada talas. Artinya, ada budi ada balas. Itulah yang terjadi ketika Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, merayakan ulang tahun yang ke-90 tahun pada tanggal 7 September kemarin. Seperti ingin membalas kebaikan sang guru yang telah mengajar mereka, para tokoh alumni Universitas Indonesia ini, yang merupakan bekas murid Slamet memberikan kejutan buat sang guru. Sebuah perayaan yang berlangsung di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, diisi dengan pembacaan kesan-kesan bekas muridnya.
Memang tidak sedikit mantan muridnya sukses dan menduduki kursi menteri seperti Fuad Hassan, Sujudi, dan Wardiman Djojonegoro. Bahkan Mahar Mardjono (mantan rektor UI), Conny Semiawan (mantan rektor IKIP Jakarta), Saparinah Sadli (Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia) begitu hormat dan mengagumi figur gurunya ini. Dan masih banyak lagi. Di mata para muridnya, Slamet memang dikenal sangat akrab dan suka menularkan pengalamannya kepada mereka.
Tak berlebihan bila Mahar Mardjono menganggap Slamet sebagai tokoh yang paling dikagumi dan diteladani. Konon, Mahar mengaku tanpa sosok guru seperti Slamet, sulit baginya meraih keberhasilan karir yang dicapainya selama ini. " Saya beruntung sewaktu menjadi rektor, Prof. Slamet selalu memberi inspirasi kepada saya, sehingga UI menjadi universitas yang berwibawa dan disegani, " kata Mahar Mardjono mengenai Prof. Slamet.
Lain lagi dengan Saparinah Sadli. Di mata Saparinah, Prof. Slamet adalah pribadi yang unik. Seingatnya sejak pertama menjadi muridnya tahun 1952, Prof. Slamet selalu mengenakan pakaian putih-putih. "Saya menilai beliau adalah sosok cendekiawan yang pantas diteladani. Beliau seorang guru yang jernih penalarannya, " puji wanita yang kini aktif di Komnas HAM. Slamet sendiri ketika ditanyakan pendapatnya mengenai penilaian murid-muridnya, sambil terkekeh malah berucap, " Biar saja mereka memberikan pendapat. Toh memang beginilah keadaan saya."
Sebagai pendidik (tahun 1978, IKIP Jakarta pernah memberikan penghargaan sebagai Tokoh Pendidikan Nasional), Slamet dikenal jujur, jernih dan konsisten. Prinsip hidupnya tak pernah berubah sampai kini. Salah satu obsesi di bidang pendidikan yang masih disimpannya adalah pembuatan standarisasi minimum di tiap jenjang pendidikan. Konon standar ini pernah diusulkan Slamet kepada pemerintah, tahun 1979-1981, melalui Komite Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN).
Kendati sempat dibahas dalam beberapa seminar, tapi tidak diketahui dengan jelas apakah ditindaklanjuti oleh pemerintah atau tidak. " Saya sampai saat ini tidak pernah diberi tahu kelanjutan usulan saya. Yang jelas, salah satu akibat tidak diberlakukan standarisasi itu, keadaan dunia pendidikan yang semakin amburadul tetap berlangsung sampai sekarang," tutur mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan (1937-1938) ini.
Slamet menguraikan bahwa sistem yang diusulkannya itu bisa memuat berbagai analisis berkaitan dengan pelaksanaan atau proses pendidikan Indonesia sampai tuntas. Hal itu mencakup keseluruhan soal personalia, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, kurikulum, anggaran pendidikan. Semua aspek tersebut harus disesuaikan dengan jenis jenjang pendidikannya. "Dengan adanya standar minimum akan mengatur dengan jelas di SD, SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi. Kriterianya yang dipakai jelas dan fleksibel, sehingga memungkinkan untuk usul, kritik dan koreksi," jelas mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang juga pernah duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1968-1973.
Kendati usulannya tidak mendapat perhatian serius karena menyita dana yang luar biasa besarnya, Slamet tidak kecil hati. Ia tetap konsekuen menekuni bidang pendidikan. Sampai tahun 1980-an, Slamet masih terlibat aktif mempublikasikan beberapa buku yang ditulisnya sendiri. Ia juga rajin menulis kolom di beberapa media massa. Salah satu bukunya yang banyak diminati orang adalah Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh CV Haji Masagung, Jakarta, pada tahun 1987.
Jasa lainnya di dunia pendidikan yang hingga kini masih dipakai oleh pemerintah adalah program penerimaan mahasiswa masuk Perguruan Tinggi Negeri. Program pembentukan UMPTN dibentuk ketika Slamet menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) pada tahun 1979-1980. Ketika itu terjadi booming besar-besaran lulusan SMA. Sebanyak 4000 ribu orang yang ingin masuk UI. Padahal kapasitasnya ketika itu baru 800-900 orang. Melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu paket untuk menjaring calon mahasiswa tersebut. Maka sejak 1979 sampai sekarang bergulirlah nama-nama Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan sekarang dikenal dengan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Selain sebagai pendidik ulet, Slamet juga dikenal suka usil. Tak jarang Slamet selalu mengomentari mantan muridnya ketika menjabat sebagai menteri. Misalnya waktu almarhum Mashuri menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dinilai Slamet sebagai menteri yang pusing kepala. Pasalnya, menurut Slamet Mashuri harus menghadapi perbagai problema kependidikan di Indonesia. Beberapa menteri lain ditundingnya keras kepala. Ada juga menteri yang dianggapnya besar kepala, serta ada menteri yang (masih di Pdan K) yang ia nilai berkepala besar.
Kritik lain yang dilontarakannya ketika murid kesayangannya Fuad Hassan menjabat sebagai menteri yang sama. Menurut ayah tujuh orang anak ini, "Kalau Fuad Hassan, meski dia pernah menjabat sebagai menteri P dan K yang tugasnya berat, tapi dia kok masih saja bisa tertawa. Jangan-jangan dia (Fuad Hassan, red) tidak punya kepala," sentilnya kalem di sela-sela hari ulang tahunnya kemarin dan mengundang tawa para tamu yang hadir.
Slamet dilahirkan dalam keadaan terbungkus, dan membuat semua penduduk desa meributkannya. Maklum, ketika itu bayi bungkus memang sangat jarang terjadi. Kontan saja kelahiran ini disambut dengan seruan, "Mana bayinya, mana bayinya? " tanya penduduk desa yang mulai merasa was-was. Untunglah nyonya Tambi, tetangganya, isteri seorang petani Indo, membantu membukakan bungkus ari-ari yang menutupinya, sehingga bayi itupun lahir dengan selamat. Nama inilah yang kemudian diberikan kepada jabang bayi yang baru lahir itu.
Sejak kecil di bawah pengasuhan ayahnya yang Asisten Wedana Banjaran, Slamet melewati masa bocahnya dengan keramahan, saling tolong-menolong dan gotong-royong ciri khas suasana desa. Satu pengalaman yang tidak dilupakannya adalah ketika di suatu saat dia dan anak lain sedang sibuk mencari ucen-ucen, buah tanaman liar yang sangat manis dan biru warnanya. Tiba-tiba Slamet terpeleset, hampir masuk selokan irigasi yang letaknya kira-kira lima meter ke bawah. Untunglah anjing Pak Lurah melompat antara Slamet dan tebing selokan tadi, sehingga dirinya tertolong. "Ketika kawan-kawan cerita peristiwa itu ke Bapak-Ibu, sayapun diberi tugas untuk memberi makan pada si Macan (nama anjing tadi, red) yang sudah menolong saya," kenang kakek yang kini memiliki tiga belas orang cucu dan lima orang buyut.
Sebagai orang yang melewati masa pendidikannya di jaman kolonial Belanda, Slamet memang terkesan sangat mengagungkan masa kolonial itu. Tetapi Slamet menyadari kondisi (terutama pendidikan, red) dulu dengan sekarang berbeda. Bila zamannya bersekolah dulu Slamet merasakan betapa guru sangat begitu memperhatikan dan bersatu dengan orang tua murid. Kenyataan begini sudah jarang terjadi di masa sekarang. "Para guru dan orang tua saling mengandalkan diri dan kurang rasa bersatu, " ucap Slamet yang pernah mendapat penghargaan Wahidin Sodiro Hoesodo dalam bidang Pengalaman Profesi Kedokteran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1989.
Menurut Slamet, bila saat ini kerap terjadi masalah tawuran atau perkelahian pelajar, dan soal kesemrawutan di dunia pendidikan, itu karena kurangnya koordinasi antara orang tua dan guru dalam mendidik para muridnya. Slamet juga melihat faktor komunikasi terutama bahasa yang dipakai dalam proses belajar sudah sangat lemah. "Salah satu faktanya adalah soal akronim yang diterapkan oleh pemerintah dan sering ditiru. Orang lebih senang mengatakan menkes, menhut, meperindag, dan sebagainya. Karena itu sistem bahasa kita jadi kacau," tutur ahli neurologi yang berkat usahanya ikut mendirikan Universitas Andalas dan Sriwijaya-- masing-masing di Palembang dan Padang, Universitas Airlangga di Surabaya, dan Universitas Hasanuddin di Ujungpandang.
Namun keprihatinan Slamet disadari harus terjadi karena masuknya Jepang pada masa kemerdekaan."Di sinilah terasa sekali suasana pendidikan zaman Belanda yang terkesan akrab (hubungan orang tua-murid-guru, red) hilang lenyap, diganti dengan jaman pendidikan Jepang yang mulai awut-awutan," jelas Slamet. Repotnya lagi, kondisi ini terus berlangsung sampai sekarang. Buktinya? "Banyak murid yang selalu tergantung dengan guru. Jaman kami tidak, sekarang mau ujian dikasih tahu waktu dan bahan-bahan apa saja yang bakal ke luar," tambahnya lagi. Tetapi Slamet maklum dia tidak berbuat banyak dengan kondisi sekarang. "Lah,sekarang saya sudah tua. Orang jaman batu seperti saya mesti tahu diri," candanya ringan.
Soal gaji guru pun dianggap Slamet sebagai pemicu kesemrawutan pendidikan jaman sekarang. Katanya, jaman Belanda dulu gaji guru lebih besar dua kali lipat daripada gaji dokter, sehingga tak perlu repot seperti sekarang harus cari tambahan."Tidak heran akhirnya dunia pendidikan sekarang dicampurbaurkan dengan bisnis," ucapnya.
Sebagai ahli psikologi, Prof. Slamet dianggap berjasa karena pada tahun 1961 pernah memimpin sekitar lima puluh mahasiswa dari Fakultas Psikologi UI, untuk memeriksa daerah Tebet dan Penjaringan yang terkena gusuran pembuatan Istana Olahraga Senayan. Berkat kunjungan itu terjalin hubungan dan komunikasi antara mahasiswa Fakultas Psikologi dengan penduduk di kedua daerah tadi. Sejak saat itulah pogram mahasiswa turun ke lapangan digiatkan kembali.
Kepiawaian Slamet di bidang neurologi memang tidak diragukan. Padahal, jauh sebelumnya di masa-masa psikologi mengalami kesulitan (waktu itu psikologi hanyalah sebuah jurusan dalam lingkungan FKUI), Slamet meyakinkan para mahasiswanya dan mengatakan kepada mereka, " Saya ibarat seorang yang sedang berdiri seorang diri di tepi pasir yang gersang tanpa pedoman untuk melintasinya sambil mengajak saudara-saudara mengembangkan disiplin ilmu yang baru ini," katanya dalam sebuah pidato ketika menerima penghargaan bintang Mahaputra Utama III pada tahun 1973.
Lelaki tua yang kini menghabiskan masa tuanya dengan sesekali membaca koran dan jalan-jalan di sekitar rumah, ternyata juga menerapkan jadwal pendidikan yang ketat terhadap keluarganya. Terbukti hampir semua ketujuh anaknya merampungkan pendidikan sampai tingkat Perguruan Tinggi. Menurut Slamet, keberhasilannya mengantarkan semua anaknya ke bangku kuliah tak lepas dari peran wanita yang dinikahinya: almarhumah Suprapti Sutejo (meninggal pada November 1983). "Kunci keberhasilan pendidikan anak terletak di tangan isteri atau ibu, karena dialah yang mengatur urusan rumah tangga. Jaman sekarang banyak wanita bekerja dan menelantarkan kewajibannya mengurus anak, hasilnya, ya, kondisi pendidikan anak-anak seperti sekarang, " cerita pak tua yang belakangan ini fisiknya sudah mulai goyah tapi belum pikun ini.
Namun menurut pengamatannya, terlepas dari hal itu semua, kondisi sekarang baik pendidikan maupun sistem sosial politik Indonesia memang sudah mengalami kerancuan. "Maka nggak perlu lagi saya neko-nekomengajukan usulan macam-macam untuk memperbaiki situasi sekarang. Saya ‘kan manusia jaman batu yang sebentar lagi jadi fosil, " katanya sambil tergelak. Slamet bahkan menyarankan supaya pemerintah mulai tanggap karena menghadapi masa depan dengan kondisi seperti sekarang akan jauh lebih berat daripada jaman penjajahan dulu. "Yang penting pemerintahnya mau nggak, mengubah. Lah, sekarang mereka lebih senang dengan ilmu "duitologi" (bisnis, komersil, red), jadi apa-apa, ya, pakai uang," sindirnya pelan.
Nama: Prof. Dr. Slamet Iman Santoso Tempat/Tgl.Lahir: Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907 Alamat rumah: Jalan Cimandiri No 26, Jakarta Pusat Telp 323137 Agama: Islam Pendidikan: Europeesche Lagere School (ELS) dan Hollandsch Inlandsche School (HIS), Magelang (1912-1920); Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Magelang (1920-1923); MAS-B, Yogyakarta (1923-1926); Indische Arts, Stovia (1926-1932); Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum (1932-1934). Karya Tulis: Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sinar Hudaya, Jakarta (1977); The Social Background For Psychotheraphy in Indonesia; Psychiatry dan Masyarakat; Kesejahteraan Jiwa; School Health in the Community; Sekolah Sebagai Sumber Penyakit atau Sumber Kesehatan; Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan Keilmuwan, Dasar-dasar Pokok Pendidikan. Karir: Pendiri Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1953-1972); Pembantu Rektor Bidang Akademis, Universitas Indonesia (1962-1972); Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1950-1953); Dosen Lemhannas; Dewan Kurator Universitas Mercu Buana. Bintang Jasa: Mahaputra Utama (III) pada tanggal 19 Mei 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar