Kamis, 23 Juni 2016

Sri Bintang Pamungkas

Sri Bintang Pamungkas, "Membela Teman, Membela Demokrasi"


BANYAK orang mengira, Sri Bintang Pamungkas adalah anak terakhir. Kata Jawa "pamungkas" berarti "yang mengakhiri." Ternyata bukan itu maksudnya. Yang dimaksudkan sebagai yang terakhir adalah perang kemerdekaan melawan Belanda. Jelasnya, lahirnya bayi yang kemudian dinamakan Bintang itu "diharapkan menandai perang yang terakhir yang terjadi di Indonesia, sehingga penjajahan selesai," tutur si empunya nama.
Perang memang belum selesai setelah Bintang lahir, tahun 1945, tapi penjajahan memang berakhir. Apalagi perang yang lain, yakni "perang" Bintang di panggung politik. Dan "perang" itu baru dimulai menjelang pemilu tahun 1993, dengan masuknya Bintang ke PPP. Hebatnya, ketika itu nama Bintang langsung populer. Padahal ia bukan kader PPP. "Saya ini bukan kader PPP, tapi dicomot dari masyarakat," tuturnya kepada Pusat Data dan Analisa TEMPO.
Dicomot atau tidak, yang jelas partai berlambang bintang itu sudah menjadi favoritnya sejak lama. Sebabnya, agama. "Sejak kecil ada keinginan dalam diri saya untuk menjadi muslim yang fanatik," katanya.
Dan rupanya PPP mengetahui hal itu, dan mengamati Bintang, tanpa atau dengan teropong. Dan Bintang pun rupanya merasa diamati, karena itu, bersama istrinya ("Supaya ada saksi," katanya) menemui Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum.
"Ya betul, sudah lama Anda diamati dan rupa-rupanya kita sehaluan," begitu cerita Bintang menirukan jawaban Buya Metareum. Bintang setuju masuk PPP dengan dua syarat. "Pertama, saya ini kan bukan kader PPP. Kalau ada konflik di dalam, pro dan kontra, saya tidak ingin turut campur, Andalah yang harus menyelesaikan. Kedua, saya pegawai negeri yang diharapkan memilih Golkar. Ini (masuk PPP), belum tentu pemerintah setuju. Saya minta masalah ini pun Buya yang menyelesaikan," tuturnya. Dan karena disanggupi, "jadilah saya PPP." Begitulah awalnya.
Setelah di dalam, Bintang tak mau setengah-setengah dengan pilihannya. "Saya masuk PPP bukan tanpa cita-cita. Saya melihat umat Islam kurang maju, kurang daya pukulnya. Saya punya cita-cita agar PPP menjadi partai yang besar, artinya jangan menjadi sekumpulan orang yang sekadar disuruh mengisi peta politik yang telah ditetapkan oleh orang atau pihak lain," katanya.
Laki-laki yang lahir 25 Juni 1945, di Tulungagung, Jawa Timur dari pasangan ayah seorang hakim, Moenadji Soerjohadikoesoemo, dan ibu Soekartinah ini, sejak kecil memang sudah menyukai politik. Maksudnya, sikap tentang mana yang adil dan benar, mana yang tidak. "Saya masih ingat sekali, ketika kelas II Sekolah Rakyat, seorang teman yang kurus ceking disuruh baca oleh guru. Dia nggak bisa lalu dimarahi dan kepalanya dilempar penghapus. Saya marah dan serentak protes sambil nangis."
Kemudian, di kelas V SD kepalanya pernah dipukul oleh gurunya dengan tongkat rotan yang dililit karet gara-gara bajunya tidak dimasukkan ke dalam celana. "Saya sempat protes, saya katakan ini kejam dan sayangadu ke kepala sekolah."
Begitulah, "Sampai SMP, SMA saya protes terus." Pernah ketika masih SMP Bintang dilarang ikut upacara karena baju putih seragamnya sudah usang dan ditisik-tisik karena sudah robek. Belum cukup begitu, setiap Senin ia diwajibkan absen. Bintang, yang sejak SD nilai rapornya selalu bagus, protes ke kepala sekolah, dengan mengajak ibunya. Berkat usulnya, akhirnya sekolahnya mengadakan baju seragam dengan harga murah.
Setelah lulus dari SMA Negeri I, Surakarta, tahun 1964, remaja Bintang masuk jurusan Teknik Penerbangan ITB untuk mengejar cita-citanya menjadi insinyur yang bisa membuat pesawat terbang. Lulus tahun 1971. Tapi, karena melihat tak ada industri pesawat yang bisa memberikan harapan hidup lebih baik, ketika melanjutkan belajar ke jenjang master di University of Southern California, Amerika, ia berbelok ke Teknik Industri. Belum sampai selesai kuliahnya, beasiswanya habis. Daripada menganggur, Bintang belajar manajemen bisnis. Dari sinilah ia tertarik belajar ekonomi, dan atas bantuan Georgia Institute of Technology ia bisa mengikuti program doktor di Iowa State University. Ia meraih doktor setelah mempertahankan disertasi berjudul Medium-term Dynamic Simulation of the Indonesian Economy pada tahun 1984. Dari University of Southern California, ia meraih gelar MSISE (master of science in industrial system engineering pada tahun 1979.
Masa mahasiswanya juga diisi dengan kegiatan ekstra. Di ITB, ia pernah menjadi Ketua Biro Pendidikan Himpunan Mahasiswa Mesin (1967-1979) dan Anggota Komisi Pendidikan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (1966-1968).
Setelah ia bekerja, kebiasaan berorganisasinya masih dilanjutkannya. Sejak tahun 1986, Bintang adalah anggota senior Ikatan Sarjana Teknik dan Manajemen Industri. Dari 1985-1987 ia pernah menjadi ahli senior di Yayasan Bina Pembangunan. Ketika ICMI berdiri, ia ditunjuk menjadi Majelis Musyarokah Indonesia dan terpilih menjadi anggota Dewan Pakar. Tak jelas kenapa dalam Muktamar ICMI tahun 1995, ia tak terpilih lagi menjadi anggota Dewan Pakar. Bisa jadi karena ia dituduh menghina Presiden RI.
Di dunia usaha ia juga aktif menjadi anggota Dewan Arbitrase Indonesia sejak tahun 1993.
Pekerjaan kantoran untuk pertama kali ia kenal pada tahun 1971, setelah lulus ITB, yaitu ketika bekerja di pabrik perakitan sepeda motor Honda milik Astra, PT Federal Motor. Di sini ia bertahan sampai tahun 1974, terakhir sebagai engineering manager. Bersamaan dengan bekerja di pabrik tadi Bintang juga merangkap menjadi konsultan di Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi UI (1972 - 1974), dan menjadi staf pengajar tetap di Fakultas Teknik UI sampai sekarang. Di samping itu, pada tahun 1974 - 1977 Bintang bekerja sebagai instruktur pada Program Perencanaan Nasional dan pada tahun 1986 - 1991 menjadi konsultan senior PT Summa International.
Pria yang bicaranya lancar dan bersemangat ini juga rajin menulis. Bukan akhir-akhir ini saja ia sering menulis artikel di surat kabar atau majalah, yang cakupannya meluas dari soal hak asasi manusia, ekonomi, demokratisasi, pendidikan, industri, sumber daya manusia, sampai koperasi. Dari pengalamannya bekerja di perusahaan otomotif, ia pernah menulis sebuah buku yang dicetak dalam ukuran buku saku mengenai industri otomotif. Dari mengajar, ia juga menulis buku diktat seperti Getaran Mekanis (1975, Metode Numerik (1989), Manajemen Industri(1990), Teknik Sistem(1992), dan rancangan Pokok-pokok Pikiran Sri-Bintangsepanjang 3 jilid (1994). Dan, ia juga rajin mengikuti seminar di hadapan khalayak umum maupun kampus, seringkali juga menjadi pembicara. Bintang, yang punya kegemaran berkebun, jalan-jalan bersama keluarga dan mengatur rumah ini memang menjadikan menulis sebagai hobi.
Sejak terjun ke politik praktis tingkat nasional, Bintang memilih "Berjuang untuk demokrasi dan kesejahteraan rakyat" sebagai salah satu rangkaian dari perjalanan hidupnya --hidup yang bagaikan cerita novel, katanya. Sasaran perjuangan saat ini adalah menegakkan hal-hal yang dianggap harus berjalan dalam sebuah negara demokrasi. Misalnya, masalah tak berfungsinya, menurut penilaian Bintang, lembaga perwakilan rakyat. "Jangan dikira kalau ada pengaduan kemudian akan diselesaikan oleh DPR. Nonsense. Kalau ada image bahwa DPR itu telah membela rakyat, itu bohong," kata bekas anggota DPR-RI ini.

Tampaknya Bintang sadar bahwa yang dilakukannya sekarang adalah hal yang sama sekali berbeda dengan sekadar kenakalan-kenakalan jenaka yang dilakukannya ketika masih menjadi murid SD, SMP ataupun SMA dulu. Yang dilakukannya sekarang adalah pilihan yang mengandung risiko nyata, materiil maupun moril. Untuk itu Bintang mengaku sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Baik istri maupun keenam anaknya sudah diajaknya bicara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar