Kamis, 23 Juni 2016

Soerjadi

Soerjadi: dari 27 Juli ke Tahanan Polisi

Soerjadi, mantan Ketua Umum PDI, sejak Selasa (11/4) malam meringkuk di tahanan Mabes Polri. Aparat penegak hukum, agaknya sudah mendapatkan bukti-bukti seberapa jauh Soerjadi terlibat dalam Kasus 27 Juli 1996 hingga ia perlu ditahan. Ia dituduh melanggar Pasal 55 KUHP, yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa "pelaku adalah orang yang melakukan atau turut melakukan atau menyuruh dilakukan suatu perbuatan tindak pidana."
Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Mabes Polri, Engkesman R. Hillep, Soerjadi ditahan karena keterangan yang diberikan untuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) belum mencukupi. "Kami memutuskan menahan Soerjadi sampai mendapat keterangan yang cukup sesuai dengan sangkaan," ujar Engkesman.
Soerjadi lahir di Selur, Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur, 13 April 1939. Tapi itu bukan tanggal lahirnya yang sebenarnya. Itu adalah tanggal lahir yang direka oleh Kepala Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) ketika harus mengisi kolom tanggal lahir sewaktu pendaftaran ujian sekolah. Di kampungnya, waktu itu memang ada kebiasaan, anak-anak yang tak jelas tanggal kelahirannya, kepala sekolahlah yang akan memberikannya –kecuali anak guru.
Soerjadi datang dari keluarga miskin. Kampungnya sendiri, menurut dia, daerah yang sangat miskin dan terisolasi. Sebenarnya, ayah Soerjadi adalah seorang lurah. Tapi ayah itu meninggal ketika ia masih tujuh tahun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibunya berjualan gaplek dan beras. "Beras itu digendong ibu sendiri dari pasar desa yang satu ke pasar desa yang lain," kata Soerjadi dalam buku Membangun Citra Partai: Profil Drs Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI 1986-1993.
Meski begitu, Soerjadi tidak kehilangan keceriaan. Sebagaimana anak-anak sebaya di kampungnya, ia juga suka main sepak bola yang bolanya dari jeruk muda yang dibakar, atau dari isi batang pakis haji yang besar. Kata Soerjadi, bola dari isi pakis haji lebih tahan daripada bola jeruk. Dan permainan itu sendiri tidak dilakukan di lapangan bola, tapi di jalan-jalan setapak kampung. Soalnya, kampung Soerjadi berbukit-bukit, sehingga praktis tidak ada tanah datar yang lapang buat lapangan bola. "Yang menang adalah siapa yang bisa menggiring bola lebih jauh, yang bisa sampai satu kilometer," kenang Soerjadi -- yang ketika kecil juga pernah menggembala berbagai jenis ternak, seperti sapi, kerbau, kuda, kambing.
Selain main sepak bola, Soerjadi kecil juga suka main plencuk, permainan yang menggunakan sepotong kayu yang panjangnya sekitar 50 Cm. Ujung bawah kayu itu bercabang dua dan diruncingkan kira-kira 5-10 Cm. Mereka akan adu ketangkasan: siapa paling jago menancapkan plencuk ke tanah yang lembut. Plencuk hanya dilakukan pada musim hujan, saat tanah tidak keras.
Soerjadi kecil juga seorang kutu buku. Untuk itu ia terpaksa pergi ke kantor Jawatan Penerangan Kecamatan. Di sini ia membaca, atau meminjam buku apa saja untuk dibawa pulang.
Setelah menamatkan SR, Soerjadi melanjutkan pendidikannya ke SMP, tidak seperti teman-teman sebayanya yang memilih SGB (Sekolah Guru Bawah). Ia memang berani berbeda, meski pun itu akan menyulitkan dirinya. Padahal, kalau memilih SGB, otomatis ia akan mendapatkan uang ikatan dinas yang cukup besar. Sehingga, ketika musim liburan misalnya, yang sekolah di SGB tidak perlu repot-repot memikirkan uang untuk beli tiket kereta api pulang ke kampungnya.
Lulus SMP, ia melanjutkan ke SMA di Yogyakarta. Semangat belajar Soerjadi memang besar. Di SMA ia memilih jurusan sastra. Itu tak lain karena ia memang suka membaca sastra, bukan karena sebuah cita-cita. "Waktu itu saya tidak punya cita-cita yang jelas," tuturnya.
Selesai SMA, Soerjadi melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, jurusan Hubungan Internasional. Selama sekolah dan kuliah di Yogya, tak jarang ia hanya makan sekali sehari. Akhirnya, dengan suka dan dukanya, Soerjadi berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1964.
Sejak kecil, Soerjadi sudah dekat dengan PNI. Kakaknya ikut mendirikan PNI di daerah. Ia juga sering membaca koran-koran terbitan PNI. "Fanatisme saya terhadap PNI sudah tidak bisa ditawar lagi," ujarnya. Wajar saja bila semasa kuliah ia aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), onderbouw PNI. Tapi, waktu itu, Soerjadi belum kebagian peran, hanya sempat menjadi pengurus GMNI di tingkat komisariat.
Lepas dari kampus, ia merantau ke Jakarta. Awalnya, ia berniat untuk bekerja di Departemen Luar Negeri, sesuai dengan disiplin ilmunya. Nasib membawanya ke jalur lain. Seorang pengurus PNI menginformasikan kepadanya bahwa kantor PNI membutuhkan seorang sarjana. Karena begitu kentalnya cinta Soerjadi terhadap PNI, ia langsung menerima tawaran itu, dengan syarat: ia hanya mau bekerja di situ dua tahun saja. Ketika PNI pecah -- PNI Asu (Ali Sastroamidjojo-Surachman) dan PNI Osa-Usep (Osa Maliki-Usep Ranawidjaja) -- Soerjadi memilih ikut PNI Osa-Usep.
Kemudian, Soerjadi ditunjuk menjadi Ketua Umum GMNI Osa-Usep. Tampilnya ia di pucuk pimpinan GMNI lebih karena tidak ada orang lain, tuturnya. Dan itu sukses karena ia dikatakan seolah-olah tokoh GMNI dari Yogya, dan waktu itu Ketua Cabang GMNI Yogya memang bernama Surjadi juga. Itu sebabnya Soerjadi merasa kehadirannya di pucuk pimpinan GMNI adalah hasil karbitan.
Praktis keseharian Soerjadi tidak bisa dipisahkan dengan politik. Tahun 1966, Soerjadi menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Selama belasan tahun ia menjadi anggota DPR/MPR. Hanya pada Pemilu 1982, ia sempat tak terpilih sebagai wakil rakyat.
Ketika itu ayah tiga anak ini banting stir menjadi pengusaha, tepatnya Presiden Direktur PT Aica Indonesia. Soerjadi sendiri mengaku, keberadaannya di perusahaan yang memproduksi lem dan formika itu bukan sebagai pemilik saham, cuma sebagai pekerja. Karena tidak ada yang mau menjadi Presdir perusahaan itu --dua Presdirnya meninggal semasa memegang jabatan— jadilah Soerjadi Presdir.
Tahun 1983, suami Srihartarti Wulandari -- Bendaraha GMNI ketika Soerjadi ketua umumnya -- ini diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Tiga tahun kemudian, ia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Lalu, pada periode selanjutnya, ia kembali berkantor di Senayan, dan menjadi Wakil Ketua DPR/MPR.
Ketika masa jabatan Soerjadi habis dan PDI menyelenggarakan kongresnya di Medan, 1993, persoalan pun muncul. Konggres Medan itu macet dan "rontok". PDI terpaksa mengadakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Lagi-lagi, kongres itu menemui masalah. Akhirnya, Kongres bisa memilih Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI, yang kemudian dikuatkan dan disahkan oleh Munas PDI di Jakarta.
Ternyata, penguasa tidak setuju naiknya Mega. Pemerintah di bawah Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk mendongkel putri Bung Karno itu. Lalu, sebuah skenario untuk menggulingkan Mega dirancang. Lahirlah Kongres Medan. Soerjadi, yang konon memang dimaui pemerintah, terpilih kembali
Sepulang dari Medan, PDI Soerjadi punya masalah: kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, masih dikuasai oleh PDI Megawati. Soerjadi kabarnya sempat mengeluarkan ancaman akan merebut paksa kantor itu. Yang jelas, terjadilah penyerbuan ke kantor DPP PDI itu, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa 27 Juli. Peristiwa itu berbuntut kerusuhan massal di Jakarta. Menurut hasil investigasi Komnas HAM, lima orang tewas, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 136 ditahan.
Peristiwa itu terjadi dua hari setelah Soerjadi dan jajaran pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan diterima Presiden Soeharto. Ketika diwawancarai TEMPO suatu kali, dengan enteng Soerjadi menjawab bahwa ia sudah melupakan peristiwa itu. "Itu tahun berapa? 1996? Saya sudah lupakan…, sudah menjadi urusannya DPP, urusannya Budi Hardjono. Biar dia yang menghadapi, ha..ha…ha," ujar Soerjadi. Tetapi kini, setelah polisi menanyakan soal kasus itu, tentu Soerjadi harus mengingat-ingat kembali. Meskipun pertanyaan penegak hukum itu pun kerap dijawab "lupa" oleh Soerjadi. (mis)

Nama : 
Soerjadi
Lahir : 
Selur, Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur, 13 April 1939
Pendidikan 
Fakultas Sosial dan Politik UGM (1964)
Karir :
- Anggota DPR-GR/MPRS dan Anggota DPR-RI/MPR (1966-1982)
- Ketua Komisi X DPR RI (1974-1982)
- Anggota DPA (1983-1987)
- Presiden Direktur PT Aica Indonesia
- Wakil Ketua DPR/MPR-RI, (1987-1997)
Organisasi :
- Anggota PNI (1959-1973) - Ketua Umum GMNI (1966-1976) - Anggota PDII (1973-sekarang) - Pendiri dan Ketua DPP KNPI (1974-1978) - Ketua Umum DPP PDI (1986-1993)
Alamat rumah :
Jalan Grinting II/18 Blok A
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar