Sutiyoso: Anti Nepotisme dan Premanisme
Nama : Mayor Jenderal Sutiyoso
Tempat Tanggal Lahir : Semarang, 6 Desember 1944
Alamat Rumah : Jalan Teuku Umar No. 60, Jakarta Pusat. Telepon 3917510
Alamat Kantor : Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat
Pendidikan : Akademi Militer Nasional, Yogyakarta, 1968
Karir : Operasi PGRS/Paraku, 1969; Operasi Flamboyan, Timtim, 1975; Operasi Seroja, Timtim, 1975; Operasi Aceh Merdeka, Aceh, 1978; Komandan Korem 062 Suryakencana, Bogor, 1993; Kepala Staf Kodam Jaya, Jakarta, Maret 1994; Pangdam Jaya, Jakarta April 1996; Gubernur DKI Jakarta (1997-2002)
Kegiatan Lain : Ketua Umum Independen Golf Club Indonesia; Wakil Ketua PB Perbasi, Wakil Ketua Umum Perbakin; (1995-1997)
Penghargaan : Komandan Korem Terbaik se-Indonesia, 1994
Seperti sudah diramalkan banyak orang, akhirnya langkah mantan Pangdam Jaya, Mayjen. Sutiyoso, 52 tahun, melenggang mulus ke Balai Kota Jakarta. Tanggal 6 Oktober lalu, pria kelahiran Semarang, JawaTengah ini, resmi dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta priode 1997-2002, menggantikan Surjadi Soedirdja. Acara pelantikan Sutiyoso --yang kemudian didaulat dengan panggilan Bang Yos-- ini dihadiri sekitar 1000 undangan. Tampak hadir dalam acara itu Mendagri Yogie SM, Menkes Sujudi, bos Bimantara Bambang Trihatmodjo, bos Maharani Titiek Hediati Prabowo, bos Humpuss Hutomo Mandala Putra, dan Komandan Kopassus Mayjen. Prabowo Subianto, serta anggota DPRD DKI Jakarta. Peluk cium para undangan menyemangati Sutiyoso memimpin ibu kota negara RI.
Bagi warga Jakarta, nama Sutiyoso memang sangat akrab di telinga mereka. Gayanya yang khas semasa menjadi Pangdam mengundang simpati tersendiri. Tak heran jika di balik kesibukannya sebagai Pangdam ketika itu, setiap malam hari ia sering mengadakan pertemuan dengan para tokoh masyarakat Jakarta. Ia rajin mengundang berbagai kalangan di rumah dinasnya, di kawasan Menteng. Tokoh ulama, pemuda, mahasiswa, rektor, seniman hingga wartawan pernah diajaknya kumpul-kumpul di rumah tersebut. Banyak yang mengatakan tradisi ini mengekor tradisi semasa Hendropriyono menjadi Pangdam, yang juga dilanjutkan pada masa Wiranto. Tapi, oleh Sutiyoso agenda tersebut diberi kemasan baru, yakni mengundang tetamunya ke rumah dinas. Agar suasananya lebih terasa kekeluargaan.
Bila melihat kedekatannya dengan kalangan beragam itu, sangat wajar bila Sutiyoso dipercaya memimpin Jakarta untuk lima tahun mendatang. Mulusnya langkah Sutiyoso sampai ke Balai Kota Jakarta ini tentu berkat dukungan empat fraksi. Lalu didukung adanya surat-surat dari DPRD Jakarta yang masuk selama masa penjaringan bakal calon (balon) beberapa waktu lalu. Ada juga dukungan dari kalangan tokoh dan kelompok masyarakat di Jakarta yang mengelu-elukan namanya. Ketua DPP Golkar Siti Hardiyanti Rukmana, alias Mbak Tutut, puteri sulung Presiden Soeharto, juga ada di belakang Sutiyoso.
Bagi kalangan wartawan, nama Sutiyoso adalah berita. Selama menjadi Pangdam, hampir setiap hari nama dan wajahnya muncul di media massa. Ia memang dikenal akrab dengan wartawan. Namun, Sutiyoso, yang berperawakan kecil tapi atletis itu, mengaku bukan orang yang suka ngomong. Sehari-hari memang sosoknya tampil dengan wajah dingin dan sorot mata yang sangat tajam. Bagi orang yang tidak dekat dengannya, kesan kaku pasti akan terlihat pada dirinya. Namun begitu ngobrol dengannya, kesan itu hilang. Karena ternyata Sutiyoso sangat pintar ngomong dan suka bicara ceplas-ceplos.
Contohnya, ketika suatu hari Kodam Jaya mendapat bantuan sepeda motor operasi darurat dari Mbak Tutut. Waktu ia memeriksa motor itu, tiba-tiba Sutiyoso menanyakan kepada seorang prajurit, " Kamu tahuenggak, kenapa warna motor ini kuning?’’ Yang ditanya langsung menjawab tidak tahu. Lalu Sutiyoso langsung menoleh ke Mbak Tutut, yang hari itu datang mengenakan baju kuning. "Mungkin Mbak Tutut tahu?" Mbak Tutut, yang tampak tercengang ditanya begitu, langsung menjawab, "Mungkin dari sononya, kali?" Dan Sutiyoso langsung menimpali, "Itu jawaban top. Ya, memang dari sononya begitu," Kontan semua yang hadir di situ tertawa.
Sutiyoso adalah lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1968. Selama 25 tahun, ia digojlok terus-menerus di lingkungan pasukan tempur. Ia pernah bertugas di Kopassus mulai dari jabatan Komando Peleton tahun 1969 hingga menjadi Asisten Operasi Komandan Kopassus tahun 1991. Selanjutnya, ia dipindah selama setahun ke Kostrad, juga sebagai Asisten Operasi. Tahun 1992, ia kembali lagi ke Kopassus sebagai Wakil Komandan. Selama penugasannya di pasukan, ia hampir terlibat semua operasi militer yang ada pada masa itu. Ia ikut serta dalam Operasi PGRS/ Paraku tahun 1969, kemudian Operasi Flamboyan di Timtim tahun 1975, Operasi Seroja di Timtim 1975, dan Operasi Aceh Merdeka tahun 1978.
Melihat jam terbangnya itu, tampaklah Sutiyoso sangat berpengalaman di bidang penugasan operasi. Bahkan kabarnya, dalam operasi di Timtim, ia sudah diterjunkan jauh-jauh hari sebelum terjadi serangan umum ABRI ke Dili. Konon, ia sudah ditugaskan di perbatasan pada 1975 untuk melatih para pemuda Timtim yang pro-integrasi.
Setelah malang melintang di bidang tempur, barulah pada tahun 1993 Sutiyoso dipindahkan ke bidang teritorial, sebagai Komandan Korem 061/ Suryakencana Bogor, Jawa Barat. Saat bertugas di Kota Hujan itulah namanya mulai melejit. Pada saat Kasad dipegang oleh Wismoyo Arismunandar, diadakan pemilihan Korem terbaik seluruh Indonesia. Hasilnya, tahun 1994 itu, Korem Bogor terpilih sebagai korem terbaik. Sedangkan Sutiyoso terpilih menjadi Komandan Korem terbaik. Prestasi Sutiyoso yang paling menonjol saat itu adalah ketika ia menyelesaikan kasus Rancamaya. Sengketa tanah yang mulai heboh sejak tahun 1989 tersebut, memang kasus yang sangat rumit dan berkepanjangan pada masa itu.
Selain prestasinya tersebut, Sutiyoso juga dianggap sukses sebagai penanggung jawab keamanan pada pertemuan para pemimpin Forum Kerja Sama Ekonomi Asia pasifik (APEC), November 1994 lalu. Berkat prestasinya itu, Sutiyoso dipromosikan menjadi Kepala Staf Kodam Jaya, dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Setahun setelah menjadi Kasdam, pada April 1996, ia dipromosikan menjadi Pangdam Jaya, sebuah jabatan yang ia anggap sebagai ujian terberat. Apalagi pada tahun itu kondisi politik lagi menghangat: menjelang Pemilu.
Tetapi langkahnya sebagai Pangdam cukup teruji ketika kerusuhan besar terjadi, seperti peristiwa 20 Mei 1996, peristiwa 27 Juli 1997, dan rentetan kerusuhan pada masa kampanye pemilu lalu diselesaikan dengan baik. Dengan gayanya yang terkesan "dingin" ia mampu meredam kerusuhan-kerusuhan tersebut menjadi bersifat lokal dan tidak merembet ke mana-mana.
Bukti ia melakukan tugasnya mengamankan Jakarta dengan baik, bisa dilihat ketika terjadi suatu peristiwa menarik pada saat berlangsung kampanye pemilu Mei lalu. Di putaran kampanye Golkar, terjadilah bentrokan antara konvoi Golkar dan simpatisan PPP di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Akibat perang batu itu, sebuah mesjid mengalami kerusakan kecil. Begitu mengetahui kejadian tersebut, sore harinya Sutiyoso langsung menuju lokasi. Ia bersama penduduk setempat salat bersama di mesjid itu. Ia juga segera memerintahkan anak buahnya memperbaiki kerusakan mesjid tersebut. Ternyata berkat penanganan model begini, berdampak positif. Ketika tindakan itu diberitakan media massa, amarah umat Islam segera padam. Sekali lagi langkah Sutiyoso mendapat simpati dari berbagai kalangan.
Mengomentari tugas barunya sebagai gubernur, Sutiyoso yang harus mulai terbiasa dipanggil Bang Yos ini menganggap, "Ini merupakan anugerah. Prinsipnya sebagai prajurit, saya mesti siap ditugaskan di mana saja, " kata perwira yang pernah melakukan studi perbandingan di Army Command and Staff College di Australia, 1989-1990 dan juga pernah menjalani pendidikan latihan di Brigade 5 Airbone, Aldershot, Inggris. Bahkan ketika menerima kedatangan beberapa wartawan pada Sabtu 4 Oktober lalu, dua hari sebelum dirinya dilantik, tanpa basa-basi ia mengakui harus belajar menjadi sipil. "Sekarang saya banyak berlatih untuk tertawa dan lebih membungkukkan tubuh kalau berjalan, supaya tidak terlalu militer," ujar Ketua Umum Independen Golf Club Indonesia itu.
Ditanya bagaimana programnya menangani kota terpadat di Indonesia, dengan enteng Sutiyoso berkata, "Program saya dalam waktu dekat menginventarisasi berbagai masalah dan mengkonsultasikannya bersama staf yang ada. Dari situ secara fungsional saya yakin bisa mengambil langkah-langkah kebijaksanaan yang diperlukan," kata penggemar santap ayam yang juga mahir menembak ini. Sutiyoso berjanji akan meneruskan apa yang sudah dilakukan Surjadi. Sebab menurutnya, Dengan adanya pergantian gubernur, pembangunan tidak boleh terhenti dan tidak berarti mesti ada kebijakan-kebijakan baru."Yang pasti pertama saya lakukan adalah konsolidasi dulu. Terutama karena gejolak rupiah saat ini memerlukan adanya konsolidasi," tandasnya lagi.
Yang mengejutkan, dalam jumpa pers yang digelar di Balai Kota, 5 Oktober lalu, Sutiyoso dengan mantap berjanji melarang keluarganya berbisnis. Baginya, nepotisme itu tabu. "Jadi, kalau ada yang mengaku keluarga saya menghadap pejabat untuk bisnis, langsung tolak saja," kata Sutiyoso.Dan, dalam keterangan pers yang dihadiri 70-an wartawan media cetak dan elektronik itu, Sutiyoso menegaskan, dalam menjalankan tugas sebagai gubernur ia akan bekerja keras, terbuka, jujur, serta tidak akan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, atau kelompoknya. "Pemimpin harus lebih mengutamakan masyarakat. Bukan mementingkan keluarga atau kelompoknya," tutur Sutiyoso. Kepada rekan-rekannya, Sutiyoso mengaku tidak akan menghalang-halangi atau menutup pintu bila mereka akan berbisnis atau mencari proyek di lingkungan Pemda DKI Jakarta, asalkan sesuai prosedur yang berlaku.
Sewaktu ditanya wartawan bagaimana caranya membenahi kota Jakarta yang selalu jadi impian para pendatang? Bagi Sutiyoso, Jakarta cocok jika diibaratkan dengan pepatah ada gula, ada semut. Dengan teori itu, kota Jakarta memang selalu diminati pendatang yang menyimpan harapan hidup di kota metropolitan ini. "Di Jakarta peredaran perekonomian sangat tinggi, sehingga banyak manusia yang ingin datang ke Jakarta. Menurut saya, prinsipnya sih siapa saja yang datang ke Jakarta tidak ada masalah. Asalkan dia punya modal dan kesungguhan besar. Dengan begitu, pendatang tidak plin-plan karena bisa menyangga hidupnya."
Soal penggusuran, buat Sutiyoso, "Jakarta bukan hanya masalah penggusuran saja, tetapi membenahi Jakarta lebih baik. Kalau harus menggusur, itu tergantung. Bila digusur langsung ditempati yang lebih baik, tohbukan masalah," katanya pasti. Karena itu, ia mengharapkan mitra kerjanya dapat bersama-sama memberi pengertian yang bijak untuk urusan rawan ini. Rencananya, Sutiyoso juga berkeinginan memberantas premanisme yang jadi momok kota serba bising ini. "Saya mohon dukungan semua pihak untuk bersama-sama memerangi ini," pintanya sungguh-sungguh.
Seyogyanya, Sutiyoso akan melanjutkan beberapa proyek yang belum dilaksanakan Surjadi. Misalnya, proyek kereta api bawah tanah (subway), jalan-jalan susun tiga (triple decker), dan reklamasi pantai utara. Beberapa proyek lain yang sudah dilaksanakan, menurut Sutiyoso harus dioptimalkan lagi, seperti pembangunan rumah susun, menciptakan kawasan hijau, memperbanyak daerah-daerah resapan air, dan proyek langit biru.
Untuk menjalankan tugas-tugasnya ini, Sutiyoso berjanji akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Terutama kalangan pers. Menurutnya, kritik dan saran tersebut akan ia kaji, dan bila benar akan digunakan untuk memperbaiki kebijakannya yang kurang benar. "Saya tidak alergi kritik dan saran, asalkan bersifat membangun," kata gubernur DKI Jakarta yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI No 284/M tanggal 18 September 1997 itu.
Mengenai motto atau slogan Jakarta, seperti layaknya kebiasaan gubernur lain, BMW (jamannya Wiyogo Atmodarminto) atau Teguh Beriman (Surjadi Soedirdja), anak guru ini merasa belum pas untuk menguraikan mottonya. " Saya belum ada motto, tetapi saya akan meneruskan apa yang telah dikerjakan Pak Surjadi," bisiknya kepada para wartawan yang mengerumuninya.
Menikah dengan Setyo Rini pada tahun 1974, ayah dua orang putri ini mengaku pernah merasa gamang ketika akan menikahi Rini. " Sudah lama saya mengenal Rini, tapi saya masih ragu untuk mengajaknya menikah. Pikir punya pikir, akhirnya saya lamar dia. Bila tidak, keburu dia disambar orang. Karena itu, begitu menunggu sejak SMP, SMA, hingga kuliah saya langsung memintanya jadi isteri saya. Bagi saya dia sangat istimewa, meskipun banyak wanita cantik yang saya kenal. Dia pintar, baik, dan keibuan," pujinya mengenai sang isteri ketika membacakan kisah pertemuannya, di acara malam ramah tamah serah terima gubernur baru DKI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar