Nama: Prof. Dr. Widjojo Nitisastro Tempat, tanggal lahir: Malang, Jawa Timur, 23 September 1927 Agama: Islam Rumah: Jalan Brawijaya IV/22, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Pendidikan:
- SMT (setingkat SMA),
- Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
- Universitas California, Berkeley, AS (Ph.D., 1961)
Karya tulis:
- Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia (bersama Prof. Dr. Nathan Keyfiz)
- Population Trends in Indonesia
- The SocioEconomic Research in a University
- The Role of Research in a University
Karier:
- Perencana pada Badan Perencanaan Negara (1953-1957)
- Direktur Lembaga Ekonomi dan Riset UI dan Dekan FE UI (1961-1964, 1964-1968)
- Guru Besar Ekonomi UI (1964 --1993)
- Dosen Seskoad (sejak 1962)
- Dosen Lemhanas (sejak 1964)
- Direktur Lembaga Ekonomi dan Kebudayaan Nasional (Leknas), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1964-1967)
- Ahli PBB bagi penilaian pelaksanaan dasawarsa Pembangunan II dan anggota Governing Council of United Nations Institute of Development (1967)
- Ketua Bappenas (1967-1971)
- Ketua Delegasi Rescheduling Utang RI (1967)
- Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1971-1973)
- Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas (1973-1978 dan 1978- 1983)
- Penasihat Bappenas (1983 -- sekarang)
- Penasehat Pemerintah RI
- Penasehat Ekonomi Presiden (1993-sekarang)
Penghargaan:
- Elise Walter Haas Award dari Universitas Berkeley, AS (1984)
- Piagam Hatta (1985)
- Penghargaan Kependudukan (1992).
Di tengah ributnya gejolak moneter, nama Widjojo Nitisastro tiba-tiba meroket kembali. Itu tentu berkaitan dengan penugasan Presiden Soeharto kepada Widjojo untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan krisis moneter yang melanda Indonesia sejak beberapa bulan belakangan.
Kepastian tampilnya arsitek ekonomi orde baru ini ditetapkan hari Rabu lalu, ketika berlangsung sidang kabinet bidang ekkuwasbang yang dipimpin Presiden Soeharto. "Sejumlah keputusan yang berkaitan dengan perkembangan moneter akhir-akhir ini akan dikordinasikan Prof. Widjojo Nitisastro," kata Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad ketika menjelaskan hasil sidang kabinet bersama Menpen Hartono dan Gubernur BI Soedradjat Jiwandono di Bina Graha, Kamis 9 Oktober 1997 lalu.
Bukan sesuatu hal yang luar biasa kalau Presiden Soeharto menugasi Widjojo untuk mengatasi persoalan tersebut. Karena ia memang sangat handal pada bidang ini. Sejak awal orde baru ia telah dipercaya sebagai orang yang turut memikirkan dan bertanggungjawab terhadap perekonomian Indonesia. Sehingga tak heran kalau ada yang menyebut dirinya sebagai "arsitek utama " perekonomian orde baru. Dan majalah AS terkemuka, Newsweek, menyebut Widjojo sebagai orang "yang tak diragukan lagi punya dampak individual terbesar dalam perekonomian Indonesia." (TEMPO, 26 Maret 1983).
Pada usianya yang relatif sangat muda, 39 tahun, ia telah dipercaya sebagai ketua tim penasehat ekonomi presiden pada tahun 1966. Kemudian, beberapa kali ia duduk sebagai menteri kabinet pada posisi yang sesuai dengan bidang tugasnya, yakni ekonomi. Dari tahun 1971 sampai 1973 ia menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemudian secara berturut-turut, dari tahun 1973 sampai 1983, ia dipercayakan sebagai Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas.
Menurut beberapa kalangan, Presiden Soeharto sangat percaya pada Widjojo. Loyalitas Widjojo agaknya adalah jawaban mengapa Presiden selalu memanggilnya pada saat kritis. Dan loyalitas itu pula yang tampaknya yang membuat Widjojo dicintai anak buahnya. Mereka masih tetap memberi laporan kepadanya, meskipun ia tidak lagi menjadi menteri. (TEMPO, 2 Februari 1985).
Meskipun begitu, ia juga pernah dikecam. Tahun 1970, sebuah majalah kaum "Kiri Baru" Amerika, menyebutnya sebagai tokoh gerombolan "Mafia Berkeley". Maksudnya, ia disebut sebagai antek Amerika karena dididik di kampus Berkeley AS. Setahun kemudian, kecaman itupun sempat "dicuatkan" kembali (beberapa) koran di Indonesia. Di situ digambarkan bahwa Widjojo telah menyusun suatu strategi pembangunan yang kurang lebih telah menyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia ke tangan Barat.
Tapi sikap Widjojo terhadap hal itu biasa-biasa saja. Seperti dituliskan majalah TEMPO edisi 26 Maret 1983, di depan publik Widjojo tidak menyinggung soal itu. Tapi mereka yang dekat dengannya serta para pengagumnya di kalangan intelektual, segera memberi pembelaan bahwa tuduhan seperti itu tidak benar.
Ekonomo terkemuka, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang juga seniornya, mempunyai kesan mendalam tentang Widjojo. Hal itu diungkapkan setelah Soemitro dan Widjojo menerima penghargaan Piagam Hatta dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 1985 silam. ''Sebagai kakak, saya merasa bangga mempunyai adik yang tampil sebagai arsitek orde baru, dimana saya ikut sebagai satria pendamping dan pesertateam,'' kata Sumitro, yang sepuluh tahun lebih tua dari Widjojo, seperti dikutip TEMPO edisi 2 Februari 1985. Pemberian penghargaan kepada Widjojo itu karena ia dinilai telah membuktikan dirinya, sebagai perencana yang tangguh, sekaligus pelaksana rencana yang konsisten.
Jauh sebelumnya ketika masih menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), bersama seorang ahli dari Canada Prof. Dr. Nathan Keyfiz, Widjojo dengan gemilang menulis sebuah buku, yang menjadi salah satu buku yang amat populer di kalangan mahasiswa ekonomi pada tahun 1950-an. Buku itu berjudul Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Mohammad Hatta (alm.) dengan bangga memberi kata pengantarnya. Di situ Hatta menulis: ''Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Canada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkannya dalam buku yang berbobot.''
Widjojo berasal dari keluarga pensiunan penilik sekolah dasar. Ayahnya, seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra), yang menggerakkan Rukun Tani. Beberapa saudaranya, menolak bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dan menjadi guru Taman Siswa.
Tidak banyak informasi mengenai masa kecilnya. Yang jelas, ketika pecah Revolusi Kemerdekaan di Surabaya, ia baru duduk di kelas I SMT (tingkat SMA). Pada tahun 1945 Widjojo bergabung dengan pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai TRIP. Seorang teman dekatnya, Pansa Tampubolon -- pendeta Advent yang kini bekerja di sebuah grup penerbitan -- bercerita tentang kegigihan Widjojo. Katanya, ''Widjojo anak pemberani. Bertempur dengan granat di tangan, ia nyaris gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari Surabaya.''
Usai perang, Widjojo sempat mengajar di SMP selama tiga tahun. Kemudian ia kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia dan mengkhususkan diri pada bidang demografi. Berkat kecerdasan dan kegigihannya, ia lulus dari FE UI dengan predikat cum laude. Kemudian saat mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley, California, AS, 1961, Widjojo muncul sebagai sarjana paling menonjol. Dan sejak itu kariernya melesat.
Pada awal tahun 1980-an, namanya sempat pula mencuat sebagai bakal calon wakil presiden periode 1983-1988. Ia dicalonkan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko), suatu organisasi beranggotakan bekas aktivis angkatan 66. Tapi hal itu serta merta dibantah Widjojo. "Saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk jabatan wakil presiden," kata peraih Penghargaan Kependudukan 1992 ini (TEMPO, 5 Februari 1983).
Tahun 1984, Widjojo menerima penghargaan dari Universitas Berkeley, California, AS, yakni Elise Walter Haas Award. Perhargaan tradisi tahunan universitas tersebut diberikan kepada bekas mahasiswa asing yang jasa-jasanya dianggap menonjol. Dan Widjojo merupakan orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan ini.
Widjojo memang seorang pekerja keras. "Biasa membawa pekerjaan ke rumah, dan tidak jarang menyelesaikannya sampai malam," kata Sulendra, sekretaris pribadinya sejak tahun 1971 suatu kali. Dan prestasi-prestasinya merupakan buah ketekunan dan kerja keras itu.
Bahkan, konsep Widjojo – yang kerap disebut pers sebagai Widjojonomics – terbukti telah menumbuhkan ekonomi Indonesia dengan pesat. Yang paling menonjol dalam konsep itu adalah prinsip kehati-hatian yang "sangat" (prudent). Dan konsep itu sempat pula mendapat "tandingan" dari grup Habibie – yang oleh pers disebut sebagai Habibienomics.
Orang bilang, stabilitas politik menjamin tumbuhnya ekonomi di negeri ini. "Doktrin" seperti itulah yang sudah diterapkan orde baru sejak lahirnya orde yang diharapkan jadi pembaharu ini. Dan kini saat stabilitas politik sangat terjaga baik, toh resesi menyergap negeri. Adakah ini semacam "anomali" konsep pembangunan ekonomi orba yang lahirnya dibidani Widjojo cs? Jawaban itulah yang menarik ditunggu, sembari menyaksikan kiat Widjojo Nitisastro, ekonom senior yang baru saja genap 70 tahun itu, memberesi ekonomi negeri.
MIS
Edisi 32/02 - 11/Okt/1997 |
Analisa & Peristiwa |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar