pernah mengatakan bahwa dirinya menghilang selama dua bulan untuk menenangkan diri.
Waktu berubah, Pius akhirnya bicara. Dan orang bertanya-tanya, siapa anak muda ini? Ia tidak berasal dari keluarga aktivis, apalagi aktivis politik. Ia terlahir dari pasangan Profesor Djamilus Zainuddin (alm) dan Fransiska Sri Haryatni. Ayahnya, Guru Besar Fakultas Teknik Kimia, Universitas Sriwijaya Palembang, adalah anak pedagang hasil bumi asal Padang. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga guru dari Yogyakarta. "Tidak ada dalam keluarga kami yang aktif di bidang politik, hanya Pius ini," kata Ny. Djamilus, Ibunda Pius.
Sang Ibu, sering berdoa agar anak yang lahir dari kandungannya nanti bisa menjadi bintang keluarga. Dan Pius kecil pun, tumbuh menjadi anak kecil yang periang. "Ia anak pintar omong, ini mungkin menurun dari neneknya yang tangkas berbicara di depan banyak orang," kata Ny. Djamilus kepada TEMPO Interaktif.
Setamat sekolah menengah atas De Brito Yogyakarta (1987), Pius mulai tertarik pada politik. Ia sering bergaul dengan mahasiswa UGM Yogyakarta yang saat itu tengah dilanda semangat ber-Golongan Putih. Selepas SMA, Pius lebih memilih Jurusan Hubungan Internasional Fisipol Universitas Katolik Parahyangan Bandung, ketimbang kuliah di Sastra Perancis Universitas Padjajaran tempat yang semula diminatinya juga. Ia lulus dari Bandung pada tahun 1995.
Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya Pius terjun langsung berdemonstrasi. Ia bergabung dalam Badan Koordinasi Mahasiswa Bandung, juga ikut membela nasib petani Badega, Jawa Barat. Pada tahun 1990, Pius bergabung dengan KPM-URI. Tahun 1991, Pius bersama beberapa temannya mendirikan Komite Pergerakan Mahasiswa Bandung atau KPMB. Organisasi ini diikuti sebelas kampus di Bandung. Kemudian pada 1993, Pius merintis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), hingga berdirinya pada tahun 1994.
Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998 lalu, bersama dengan seniman Ratna Sarumpaet, dan beberapa aktivis mahasiswa lainnya di Jakarta, Pius yang mengaku kagum akan Soekarno, Hatta dan Syahrir ini, mendirikan Solidaritas Indonesia Untuk Amien Rais dan Megawati, disingkat SIAGA. Organisasi itu lahir untuk mendukung Amien dan Mega sebagai calon presiden RI perode 1998-2003. Di SIAGA, Pius menjabat sebagai Sekjen.
Selama lebih dari sembilan tahun menjadi demonstran, setidaknya sudah tiga kali Pius menjadi korban keberingasan aparat keamanan. Pertama kali ketika membela petani Badega, Jawa Barat. Kedua kalinya, dalam sebuah demonstrasi mendukung Megawati (kasus 27 Juli) di Bandung, kala itu Pius mendapat luka memar di 14 tempat di sekujur tubuhnya. Dan yang terakhir, adalah penculikan yang sekarang ini.
Sikapnya untuk peduli kepada nasib orang kecil, tertanam dari keluarganya sebagai penganut Katolik yang taat. Ibunya, Ny Djamilus, Selalu menekankan kepada Pius untuk bersikap asih kepada sesama, tidak lekas marah apalagi dendam. "Nilai-nilai itulah yang saya yakini dan saya ajarkan juga kepada Pius," katanya kepada TEMPO Interaktif.
Kiprah politik Pius itulah yang tidak bisa dipisahkan dengan kasus penculikannya pada tanggal 4 Februari 1998. Ketika ia akan menjenguk seorang temannya yang sakit dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, Salemba Jakarta, tiba-tiba ia disergap sekelompok orang tak dikenal. Kala itu, bersamaan dengan raibnya Pius, Desmon J. Mahesa, Direktur LBH Nusantara, Jakarta juga tidak diketahui rimbanya.
Banyak analisis muncul berkaitan dengan menghilangnya dua aktivis LSM. Dari kalangan aktivis, diculik aparat keamanan untuk memuluskan jalan Sidang Umum MPR 1998 lalu. Dan hal inilah yang juga diyakini oleh ibunda Pius. "Walaupun tidak ada orang yang memberitahu saya, akan keberadaan Pius, saya yakin ia diamankan pemerintah berkaitan dengan Sidang Umum MPR," kata ibu yang aktif di Sebuah Yayasan Pendidikan Katolik di Pelembang, Sumatera Selatan ini.
Dan ketika ia "dimunculkan", Pius memilih bersaksi di Komnas HAM, sebuah pilihan yang berani. Kesaksiannya itulah yang mengantarkan Pius harus meninggalkan Indonesia. Ia memilih Belanda, bisa saja untuk menenangkan diri. Paling tidak menghindari kekhawatiran atas ancaman dari para penculiknya yang akan menghabisi nyawanya jika ia menceritakan kejadian yang dia alami.
Pius memilih jalan berat itu. "Ia ingin menegakkan kebenaran, walaupun harus mati, seperti yang dialami Tuhan Yesus yang ia yakini," ucap Ibunda Pius menirukan kata-kata terakhir Pius sebelum berangkat ke Jakarta.
Dialah orang pertama yang berani mengungkapkan penculikannya kepada dunia.
EB
Edisi 09/03 - 2/Mei/1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar