dr. Shahnaz Nadia Yusharyahya Idris:
Pilihan Hidup Dokter Spesialis Kulit
Kemiripan wajahnya dengan kakak sulung, Zoraya Perucha, dan adiknya, Zsa Zsa Quamila, sering membuat orang keliru. Shahnaz Nadia Yusharyahya Idris (43) bercerita, pernah di salah satu mal, seorang ibu memanggilnya Zsa Zsa. "Saya cerita ke Zsa Zsa (yang dipanggil Quamila- red). Ia bilang, seringlah pergi ke mal, biar orang menyangka itu Zsa Zsa yang terlihat lebih langsing," ujar Nadia si pemilik tubuh ramping itu, tertawa.
Selama Juni-Agustus, dokter spesialis kulit ini menikmati waktu liburan sekolah anaknya, Zavero Idris (13) dan Shahira Idris (7), di Indonesia. Ia benar-benar bisa bersantai dengan anak-anaknya, jalan ke mal, mengantarkan les piano dan drum, berlibur ke Anyer dan menginap di rumah saudara kandungnya. "Setahun dua kali saya ke Indonesia, liburan sekolah dan Natal," kata Nadia yang sudah sembilan tahun tinggal di Manila, mengikuti tugas suaminya di Asian Development Bank pada 1992.
Kepergian ke Manila praktis menghentikan kariernya sebagai dokter bedah kulit di Jakarta Skin Center. Salah seorang pendiri pusat perawatan kulit itu, sempat bingung memilih apakah mengikuti suara hati berkarier sebagai dokter kulit tapi meninggalkan keluarganya atau ikut suami dengan konsekuensi tidak bekerja. Ada peraturan yang tidak membolehkan dokter asing membuka izin praktek di Manila. "Akhirnya saya memilih yang terakhir. Keluarga lebih penting, bagaimanapun," kata Nadia yang memutuskan menyusul suaminya setelah terpisah tiga tahun.
Setahun di Manila, ia mengakui, sempat mengalami frustrasi selama setahun. Tidak ada kegiatan, jauh keluarga, dan tak ada teman. Ini membuat ia terlalu obsesif terhadap anak sulungnya. Lalu Nadia cukup menyadari dan mencoba tidak larut dengan kesedihan. "Siapa lagi yang bisa mengubah itu selain diri saya sendiri," ujarnya.
Untuk mengisi kesibukan, Nadia kuliah lagi di jurusan Administrasi Rumah Sakit di University of Philippines. Ia berhasil meraih gelar Master in Hospital Administration pada 1998. "Saya pun mulai punya banyak teman dari Filipina," kata Nadia yang menyukai kegiatan fitness di pusat kebugaran.
Menjadi dokter sudah jadi pilihan hidup buat Nadia, meski awalnya ia tidak interes pada ilmu kedokteran. Ia semata-mata hanya ingin memenuhi rasa ingin tahu dan tertantang oleh ucapan psikolog mengenai hasil tes IQ saat kelas 2 SMA. Menurutnya, ayahnya yang ia panggil Daddy, pernah berucap, anaknya tidak ada yang memilih jurusan kedokteran. Karena mulai dari Zoraya, Zsa Zsa, Talullah, sekolah di luar negeri. Semula Nadia lebih tertarik jurusan teknik dan berencana kuliah di ITB.
Ayahnya bilang, "Kalau Nadia kuliah ke Bandung, berarti semua anak pergi jauh, lebih baik sekalian ambil sekolah di luar negeri." Hasil tes IQ menyarankan agar ia tidak memilih jurusan kedokteran. "Psikolognya bilang jangan masuk kedokteran, belajar ilmu kedokteran itu sulit. Saya makin tertantang, kok jadi tergantung pada dia," ucap Nadia yang kemudian menambah ilmunya lewat bimbingan tes dan mendaftar untuk seleksi mahasiswa FKUI. Hasilnya, ia lulus. "Begitu senangnya, saya datangi psikolog itu dan lapor telah lulus. Eh, katanya kamu kebetulan saja lulus," kata Nadia yang makin terpacu dengan ucapan itu.
Dengan jadwal padat kuliah di kedokteran, bakat Nadia sebagai perenang terhenti. Ia sempat ikut memenangkan kejuaraan antar mahasiswa perguruan tinggi di Asia yang diikuti Malaysia, Singapura dan Hongkong. Bakat renangnya itu terasah oleh didikan ayahnya yang memotivasi anak-anaknya berprestasi dalam olahraga renang. Nadia mulai dilatih berenang sejak usia enam tahun. Bangun pukul 04.00, gosok gigi dan hanya cuci muka, kemudian pergi ke Senayan, sudah jadi rutinitasnya. Beberapa prestasi diukir Nadia, seperti kejuaraan Renang Kelompok Umur Asean di Singapura, Kuala Lumpur dan Manila. "Tapi tidak sebagus Ucha. Saya selalu nomor dua di bawahnya," katanya mengenai prestasi kakaknya.
Lulus pada 1983, Nadia memilih Wajib Kerja Sarjana untuk ditempatkan di daerah terjauh, di propinsi termuda Indonesia saat itu, di Timor Timur. "Alasannya hanya satu tahun bertugas, dibanding wilayah Jawa selama lima tahun atau Kalimantan, tiga tahun. Saya mau mengambil spesialisasi bidang," ungkapnya.
Meski jauh dari keluarga, pengalaman bertugas di daerah yang masih bergolak itu, dirasakan menyenangkan buat dokter muda Nadia. Ditempatkan sebagai salah satu dari 10 orang tim dokter Rumah Sakit Umum Pusat Dili. Ia benar-benar mengabdikan ilmunya karena tidak menerima bayaran dari para pasien di RS pemerintah itu. Dengan gaji pegawai negeri sebesar Rp 60 ribu, Nadia bisa membagi kebahagiaan dengan memberi sebagian penghasilannya kepada orang tua dan pembantu yang ikut Nadia sejak kecil.
Waktu libur, dimanfaatkan Nadia untuk main tenis dan mengisi siaran kontak pendengar seminggu dua kali di RRI Dili. "Kepala RRI minta saya bergabung, kebetulan kita berasal dari Jakarta punya koleksi kaset cukup lengkap," kata pengagum grup Dewa dan Bunglon itu.
Sepulang dari Timtim, Nadia mengambil spesialisasi bidang kulit dan kelamin di FKUI. "Lumayan banyak peminat yang antre," katanya. Sambil menunggu, ia bekerja di Klinik Keluarga Berencana di UI Kampus Rawamangun dan diteruskan bekerja di Poliklinik RSCM, sambil kuliah spesialisasi kulit.
Pada 1992, dari perbincangan bersama Dr. Aryani Sudharmono Ruswan, Dr Ronny Handoko, Dr Edwin Djuanda dan Dr Harsono, mereka mendirikan Jakarta Skin Center. Alasannya, di Indonesia belum ada pusat perawatan kulit, selama itu pasien yang terdiri atas kalangan menengah ke atas lebih banyak berobat ke Singapura. "Modal kami berlima pas-pasan. Saya dan Aryani berburu ubin di daerah Kota untuk dapat harga murah tapi bagus," kata Nadia.
Kini, pekerjaannya sebagai Drug Testing Consultant di International School Manila, mewarnai sisi lain dari profesinya sebagai dokter kulit. Ia bertugas di sebuah klinik sekolah yang dilengkapi dengan sistem komputerisasi untuk melakukan tes random kepada murid yang dipanggil untuk ditanya soal ketergantungan obat-obatan dan narkotika.
Karena sistemnya acak, maka seorang anak bisa mendapat panggilan dua kali selama satu bulan, atau bisa saja setahun satu kali. "Tak terkecuali anak sulung saya, yang juga pernah diwawancarai. Lucu kedengarannya, interogasi anak sendiri, tapi harus profesional," kata Nadia yang melamar posisi ini setelah ditinggalkan oleh konsultan terdahulu pulang ke negaranya. Menurutnya, sama seperti di sini, di sana anak yang kena drug mulai usia 14-18 tahun. Kalau segera ketahuan, maka orang tuanya dipanggil dan si anak masuk rehabilitasi.
Tugas sebagai konsultan antidrug ini, katanya, cukup menyenangkan dan tanpa harus berpisah dengan anak-anaknya. Pergi dan pulang sekolah ia bersama anak, di saat anaknya libur, ia juga libur. "Anak-anak bisa melihat saya setiap saat, dan melambai-lambaikan tangan dari balik kaca klinik," katanya tergelak.
Untuk pekerjaan satu ini, ia mesti melupakan tugasnya sebagai dokter. Kecuali di saat liburan seperti saat ini, ia masih sempat praktek di JSC, menggantikan tugas rekan dokter lain. "Bukan memilih pekerjaan, tapi memang tidak ada pilihan bagi saya. Kalau memilih, ingin jadi dokter kulit," katanya. Nadia masih berharap bila segera pulang ke Indonesia melakukan tugasnya sebagai dokter. Semuanya tergantung masa selesai tugas suaminya. "Siapa tahu nanti bisa pulang ke sini dan praktek lagi," katanya berharap. (evieta fadjar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar