Profil |
Roch. Basoeki Mangoenpoerojo |
"Jangan Takut Menjadi Rakyat"
INI mungkin sebuah pesan penting dari seorang mayor purnawirawan. "Pertarungan politik yang sesungguhnya hanya boleh ada di MPR, saat Sidang Umum 1998 nanti. Bukan lewat gontok-gontokan dalam pemilu," kata Roch Basoeki Mangoenpoerojo, 54 tahun, kepada TEMPO Interaktif. Ia menulis segala pesan dan pengamatan politiknya itu dalam sebuah buku berjudul Perubahan Tanpa Gejolak, Menuju Sidang Umum MPR-RI yang didiskusikan di Hotel Cempaka, Jakarta, Sabtu, 5 Juli lalu.
Roch Basoeki memang sosok yang terbilang nyentrik. Dialah tokoh yang melontarkan (dan sempat menjalaninya meski tak sesuai skenario) gagasan long march Denpasar-Jakarta, 26 Maret tempo hari. Mantan mayor Angkatan Darat ini juga dikenal sebagai kolumnis masalah sosial dan politik yang cukup produktif mengirimkan tulisannya ke pelbagai media massa. Ia juga pendukung berat Megawati. Posisinya lumayan penting di tubuh partai berlambang kepala banteng: sekretaris badan litbang PDI Megawati.
Simak saja caranya bikin long march. Bersama enam orang aktifis PDI, yang tergabung dalam kelompok yang menamakan dirinya Kader Partai Demokrasi Indonesia Cinta Konstitusi (KPCK) atau "Awam" PDI, Roch bermaksud menempuh perjalanan panjang via darat dari Bali ke Jakarta. Tentu saja, perjalanan jauh yang menempuh lebih dari 1000 kilometer itu, bukan sekedar napak tilas, atau reli kendaraan bermotor. Tujuannya hanya satu: menuju gedung DPR/MPR RI di Senayan, Jakarta. Rencananya, sesampai di hadapan para wakil rakyat itu, mereka menyampaikan "Pernyataan Harapan" pada lembaga tertinggi negara MPR, seputar kemelut yang melanda PDI.
Tentu saja ide berani ini, membuat gerah para petinggi kawasan yang akan dilalui long march. Lima panglima komando daerah militer (Pangdam), yang terdiri dari Pangdam Udayana, Brawijaya, Diponegoro, Siliwangi dan Pangdam Jaya, tegas-tegas melarang long march itu. Tapi si penggagas ide, Roch Basoeki, adem-ayem saja menyambut pernyataan lima Pangdam itu. "Jangan terlalu tegang lah menyambut ide long march itu," katanya kepada harian Kompas, saat itu.
Long march akhirnya memang dilaksanakan, kendati di luar skenario awal. Yakni, bukannya lewat jalan darat sebagaimana direncanakan, tapi setengahnya ditempuh via udara. Bagaimana ini terjadi? Berikut penuturan usahawan yang pernah sukses bertransmigrasi ke Batumarta, Sumatera Selatan ini saat ditemui Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif.
Kisahnya begini. Dalam perjalan di Banyuwangi, iring-iringan mobil Roch dan kawan-kawan dicegat sekawanan orang yang mengaku dari Kodam Brawijaya. Lantas, setengah memaksa, mobil super kijang yang mengangkut peserta long march itu diganti sopirnya. Kali ini sang sopir berambut cepak. Ternyata mobil itu tak diarahkan menuju ke Jakarta, malah berbalik lagi dan disembunyikan di gudang barang di Pelabuhan Jatiwangi, Banyuwangi, Jawa Timur.
Sesampainya di gudang barang pelabuhan, Roch mengaku agak keder (bingung). Saat itu, ia menyaksikan di layar televisi, KSAD Jenderal R. Hartono ---sekarang menteri penerangan--- memberikan komentar yang keras seputar kerusuhan di Situbondo. Melihat itu, nyali para peserta long march menciut. "Perasaan saya jadi tidak enak. Bisa-bisa saya malah dianggap mendalangi kerusuhan di Sitobondo," ujarnya mengenang. Roch pun banting stir. Di gelap malam itu, mobil rombongannya --setelah diganti pelat nomor-- meluncur ke Surabaya. Sesampai di Surabaya, pagi harinya, mobil langsung diarahkan menuju bandara Juanda.
Ke bandara? Ya, rombongan langsung diangkut balik menuju Jakarta dengan pesawat terbang. Maka jadilah long march, lewat udara. Perjalanan pun lebih singkat dari rencana semula yang seminggu.
Lucunya, sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, mereka sempat celingak-celinguk, kalau-kalau ada yang "menjemput", bisa teman seperjuangan, bisa petugas. Ternyata sama sekali tak ada penjemputan, apalagi penyambutan . Mereka langsung bubar menuju rumah masing-masing. Roch dan teman-temannya beristirahat tidur dan bertemu keluarga di rumah.
Enam hari kemudian, 1 April 1997, Roch Basoeki beserta sekitar 100 orang kader dan simpatisan PDI dari berbagai daerah, mendatangi gedung DPR/MPR. Mereka diterima oleh Wakil Ketua DPR/MPR Prof. Dr. H.A Amiruddin. "Saya merasa terhormat dapat diterima di MPR, sebelumnya Pak Wahono (Ketua) sendiri yang akan menerima. Tapi sayang, beliau mendadak harus ikut rapim," katanya. Selesai bertandang ke MPR dan menyampaikan Pernyataan Harapan, kelompok "Awam" PDI, atau Kader Partai Demokrasi Indonesia Cinta Konstitusi (KPCK) membubarkan diri.
Siapa Roch Basoeki sebenarnya? Ia adalah anak pertama dari delapan bersaudara pasangan Soetinah dengan Soedarjono Mangoenpoerojo yang pernah menjadi anak buah Slamet Riyadi di Pasukan Pembela Tanah Air (PETA)--saat melakukan perjuangan melawan Kempetai Jepang di Blitar, Jawa Timur. Roch lahir pada masa pengungsian saat gerilya, di Cimahi, Jawa Barat, 16 Maret 1943.
Masa kanak-kanak Roch dihabiskan di Solo. Ketika SMP di Solo, Roch sudah sering dipanggil dengan sebutan "jenderal" oleh teman-teman sebayanya. Mungkin karena tubuhnya yang besar dan kekar, maka penggemar atletik ini dijuluki begitu. Di SMP inilah Roch berkenalan dengan gadis manis asli Solo, Maria Sri Sadarini--yang belakangan jadi insinyur peternakan dari Universitas Gajah Mada. Gadis Maria inilah yang tiga belas tahun kemudian dipersunting oleh Roch Basoeki, resmi menjadi pendamping hidupnya.
Setamat dari SMA di Padang, Roch mendaftarkan diri di ITB, jurusan Teknik. Tetapi ayahnya yang tentara lebih suka Roch muda, meneruskan jejak langkahnya menjadi serdadu. Maka, tahun 1963 ia masuk Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang, jurusan Infanteri. Momentumnya lumayan kritis: tahun 1966, bertepatan dengan hiruk pikuk nasional menjelang pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Roch menyelesaikan pendidikannya dengan pangkat letnan dua infanteri TNI AD.
Roch memang agak menutup diri kalau ditanya soal ABRI. "Nanti saya dianggap ngecap. Saya cuma kopral saja kok. Lantas nanti Anda hormat kepada saya, karena saya ABRI. Saya ingin orang hormat karena saya seperti sekarang ini, sipil," katanya mantap. Masa dinasnya di ketentaraan lebih banyak dihabiskan di Kodam Siliwangi di Bandung. Pada tahun 1975 dengan pangkat Mayor TNI, ia dipindahkan ke Markas Besar ABRI. Kepindahannya ke Jakarta, membuat ia merasa tidak punya kerjaan.
Untuk mengisi waktunya yang banyak luang, Roch menyibukan diri membaca buku yang ada di perpustakaan mess ABRI. Hasilnya? "Selama tiga bulan, semua buku yang ada di mess itu, ludes saya baca," katanya. Dari situ ia mulai tertarik pada transmigrasi. Menurut dia, program transmigrasi sangat strategis, dan berkaitan dengan program ABRI: mempersatukan bangsa. Maka, pada setiap kesempatan cuti, Roch Basoeki menyempatkan berkunjung ke daerah-daerah transmigrasi. Hampir semua daerah transmigrasi di tanah air pernah ia kunjungi. Yang paling mengesankan baginya adalah daerah Rimbo Bujang di Sumatera Selatan.
Dari mengunjungi daerah transmigrasi yang terpencil itu, Roch merasa banyak hal yang harus mendapat perhatian serius. Untuk itu, semasa dinas aktif pada tahun 1978, ia mendirikan lembaga swadaya masyarakat yang khusus menangani transmigrasi. Namanya Lembaga Kepeloporan Transmigrasi Indonesia (LKTI) dan Roch menjadi direktur. Mulailah ia aktif dalam dunia seminar dan diskusi, bukan di lapangan memanggul senjata seperti layaknya militer. Pada tahun 1980, seminarnya di Binguan, Kalimantan Timur, mendapat banyak sorotan dari masyarakat, khususnya pers.
Sejak itu, ia makin cocok masuk dunia transmigrasi. Sebaliknya, semakin tebal keinginannya keluar dari ABRI. Ia mulai melepaskan seragam militernya pada tahun 1981. Semula, oleh atasanya Brigjen Soehirno, ia akan disalurkan untuk dikaryakan di Departemen Tranmigrasi. Tapi Roch justeru memilih menjadi petani transmigran di Batu Marta, Sumatera Selatan.
Di daerah transmigran itu, Roch dengan keluarga mendapat jatah kebun karet seluas 1 hektar. Ia juga sibuk menanam singkong dan cabe. Sayang, tangan Roch agak panas. "Mungkin karena dari sononya tidak ada darah petani," katanya berkelakar. Suatu waktu, ketika ia menanam singkong, ia ditegur seorang transmigran kawannya. Ternyata Roch terbalik menanam tunas singkong. "Bisa-bisa daunnya tumbuh di bawah tanah," katanya disertai tawa lepas. Saat menguliti cabe untuk bibit, ia lupa menggunakan sarung tangan. Kontan saja, selama sepuluh hari, tangannya kepanasan.
Merasa sudah tidak dibutuhkan lagi di daerah transmigrasi, Roch kemudian kembali ke Jakarta. Di Jakarta, dengan modal yang diperolehdari daerah transmigran, ia coba-coba berjualan nasi a la warteg (warung Tegal) di daerah Cilandak, Jakarta. Dari pengusaha warteg ia mulai baranjak ke bisnis telekomunikasi. Bikin wartel. Lumayan sukses. Lalu ia membuka toko peralatan kantor dan jasa pos. Untuk bisnis pos ini, Roch bekerjasama dengan perusahaan Amerika, MBE (Mail Boxes Etc). Rezekinya masih mengalir dari bisnis karaoke dan warung makan.
Apakah suksesnya karena koneksi? Mentang-mentang ia mantan perwira ABRI? Bukankah kini banyak mantan jenderal yang sukses berbisnis? Tegas-tegas Roch menolak tudingan itu. "Saya tidak pernah melakukan hal itu. Usaha ini saya mulai dengan membuka warteg, lalu merambat ke wartel. Dari satu orang pembantu cuci piring sampai 40 karyawan sekarang," katanya, sambil menunjuk tempat di depan wartelnya yang dulu pernah menjadi tempat berjualan warteg.
Roch juga sempat menjadi ketua Ketua Umum Asosiasi Pengelola Warpostel Indonesia (APWI) pada 1991-1995. Mengapa ia cuma punya satu wartel? Dengan enteng Roch menjawab singkat, "Saya bukan kapitalis. Mulanya saya punya wartel juga dari barang rongsokan semua. Bisnis saya sekedar bisa jalan saja," katanya kalem.
Di pentas politik, Roch termasuk orang baru dalam barisan Megawati Soekarnoputri. Baru pada bulan Oktober 1994, ia resmi menjadi anggota PDI. Ia diberi jabatan sebagai Sekretaris Balitbang PDI, mendampingi pakar ekonomi Kwik Kian Gie. "Sebelumnya saya tak tahu politik. Saya hanya tahu Saptamarga, Sumpah Prajurit, Delapan TNI wajib, serta medan tempur. Karena selama di AMN saya tidak diajari politik, kami cuma diberi pembekalan kepemimpinan," katanya.
Lantas mengapa ia mau masuk ke barisan PDI Megawati, apakah ia seorang Soekarnois? "Saya masuk PDI, bukan karena saya Soekarnois. Walau pun saya mengagumi pemikiran Bung Karno, tetapi saya tidak pantas untuk disebut Soekarnois," Roch menjawab. Ia mengagumi Bung Karno, karena ia seorang inlander yang tidak takut menghadapi Belanda. "Lantas mengapa sekarang kita takut menghadapi sekelompok orang yang ingin berkuasa?" Jika ia memilih PDI, lantaran dilihatnya hanya sedikit mantan tentara yang menyokong barisan PDI Megawati. "Bukankah sudah banyak tentara di tempat lain, di Golkar dan PPP. Karena saya bukan orang Islam, ya, saya masuk PDI. Kalau saya masuk Golkar, apa saya laku?" ujar penganut Katolik ini.
Apa tidak takut ditegur Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI) lantaran ikut PDI? Ayah empat enak ini mengatakan bahwa sampai kini tak ada orang Pepabri yang datang padanya. "Dan saya tak pernah takut menjadi rakyat. Kalau saya boleh mengimbau kepada para anggota Pepabri, jangan takut menjadi rakyat," katanya, tegas. Mungkin bisa ditambah: jangan pula rakyat ditakut-takuti.
Nama: Roch. Basoeki Mangoenpoerojo. Tempat/Tgl.Lahir: Cimahi, Jawa Barat 16 Maret 1943. Alamat Rumah: Jl. Darmaputra 12/34, Tanah Kusir, Jakarta Selatan (021) 7251025. Alamat Kantor: Jl. Ampera Raya No. 3 Cilandak II, Jakarta Selatan; telepon: (021)7815205-7893020 fax: (021) 7802558. Agama: Katolik. Ayah: Soedarjono Mangoenpoerojo. Ibu: Soetinah. Istri: Ir. Maria Sri Sadarini. Anak: Yongki (lahir 30 Januari 1970), Pico (lahir 5 Maret 1972), Erick (lahir 17 Juli 1974), Lucky (22 Februari 1977). Hobi: Membaca, Menulis dan Menyanyi. Pendidikan: SD (Solo lulus 1955); SMP (Solo lulus 1959); Padang (lulus 1962); AMN (Magelang 1966). Pengalaman Kerja: ABRI TNI -AD (1962-1981);Petani (1981-1986); Konsultan (1986-1994); Usahawan (1994-...); Alih profesi dari militer dengan pangkat mayor infanteri Transmigrasi Batumarta, Sumatera Selatan (1981-1990); Direktur Lembaga Kepeloporan Transmigran Indonesia; Kolumnis (1978-...). Kegiatan Lain: Ketua Asosiasi Pengelola Warpostel Indonesia APWI (1991-1995);Ketua Koperasi Pengusaha Warpostel Indonesia (1995); LSM Ketransmigrasian (1979-1994);Wakil Ketua Paguyuban Solus Populi Indonesia (1995); Wiraswastawan rumah makan, wartel dan karaoke, dll; Sekretaris Balitbang PDI (1994); Anak pertama dari delapan bersaudara;Menulis di beberapa media Nasional Seperti Kompas, Tiras , dll.; 41 Makalah tentang kependudukan, transmigrasi, telekomunikasi, ABRI, masalah regional/desa pada khususnya, olahraga (untuk seminar dan buku) Publikasi: * Rancunya Pola Pikir Cendekiawan dan Akibatnya Terhadap Transmigran (1985) dalam buku 10 Windu Transmigrasi (Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun)
* Perubahan Tanpa Gejolak, Menuju Sidang Umum MPR-RI(1997)
"Samenbudelling van Alle Krachten van de Natie" ...... dari kawan di Bina Desa era 80-an yang masih rindukan dialog dengan Tokoh ini.
BalasHapusSesudah dia meninggal, saya baru tahu bahwa isterinya itu kawan seSMAB Margoyudan Solo.
BalasHapusSaya pengin sekali baca tulisan dia, apa saja.